Rabu, 12 November 2008

Mutiara Nasehat

Kesombongan Tak Berguna

Kota Madinah masih gelap. Diselimuti malam. Malam masih belum mulai beranjak pagi. Suasananya sepi. Penduduknya terlelap oleh buaian tidur. Hanya suara angin gurun pasir menerpa pohon dan bangunan disertai udara dingin yang menusuk.

Seorang laki-laki berjalan sendirian dikegelapan. Menelusuri lorong-lorong rumah penduduk Madinah. Mungkin ini tak lazim. Tak lazim bagi orang yang tak memiliki tujuan. Langkah kakinya terus menembus kegelapan malam. Tak menghiraukan dinginnya udara malam. Apa yang dicari laki-laki itu? Adakah malam itu begitu penting bagi laki-laki itu? Malam terus beranjak. Sampai laki-laki itu berhenti dan berdiri di dekat sebuah rumah yang kecil.

Laki-laki itu mendengar suara wanita. Dialog antara ibu dan anaknya. Wanita tua itu menyuruh anaknya mencampur susu yang akan dijual dengan air. "Ibunda. Amirul Mu'minin melarang perbuatan seperti itu", tukas anaknya. "Tetapi, Amirul Mu'minin tidak ada bersama kita", sahut ibunya. "Kalaupun Amirul Mu'minin tidak melihat kita, bukankah Allah selalu mengawasi kita", tegas anaknya. Laki-laki yang berdiri dekat rumah itu tercenung, ketika ia mendengar dialog ibu dengan anaknya.

Laki-laki yang berjalan digelapan malam, dan menelusuri lorong-lorong kota Madinah, tak lain adalah Khalifah Umar Ibn Kaththab. Ketika orang-orang terlelap tidur dan istirahat di malam hari, justru ia mengelilingi Madinah, ingin mengetahui keadaan rakyatnya. Tak puas hanya dengan laporan para pejabatnya. Khalifah Umar ingin melihat langsung keadaan rakyatnya. Masih adakah rakyatnya yang tak dapat tidur di malam hari, karena perutnya lapar? Adakah rakyat yang memerlukan bantuan? Wanita-wanita tua, janda, dan anak-anak yatim, tak boleh mereka lapar. Umar rela tak tidur di malam hari. Ia takut kalau-kalau rakyatnya ada yang kelaparan.

Khalifah Umar Ibn Kaththab yang sangat mencintai rakyatnya itu, pikirannya terus dibayangi dialog antara ibu dengan anaknya. Umar benar-benar tersentuh ucapan anak perempuan itu. Kemudian, di pagi hari ia mengumpulkan seluruh anak laki-lakinya, dan menceritakan perihal dialog antara ibu dengan anaknya, yang ia dengar kepada anak-anaknya, ketika ia melakukan kunjungan ke rumah-rumah penduduk di malam hari. Umar menyuruh di antara anak laki-lakinya menikahi anak perempuan itu. Lalu, salah seorang anaknya bernama Ashim, menunjukkan tangan, menyatakan keinginannya menikahi anak wanita itu "Kalau begitu, pergilah dan nikahlah dengannya. Alangkah baiknya engkau datang dengan seorang penunggang kuda yang menguasai bangsa Arab", ujar Umar.

Ashim menikahi anak perempuan yang bertaqwa dan berbakti itu.Kedua suami-isteri itu menjalani kehidupannya. Lalu, Allah azza wa jalla menakdirkan keduanya mempunyai seorang anak, anak wanita yang diberi nama Layla. Anak perempuan begitu cantik dan lembut. Selanjutnya, Layla menapaki kehidupan, dan mendapat asuhan dan bimbingan dari kedua orang tuanya, yang shaleh, putra Umar Ibn Kaththab. Ketika, Layla mencapai usia nikah, ia dilamar oleh Abdul Aziz bin Marwan bin Hakam, seorang pembesar dari bani Marwan setelah saudaranya Abdul Malik bin Marwan. Usai akan nikah, Layla dibawa ke istana oleh suaminya, Abdul Aziz, dan bergabunglah antara kemuliaan dan ketaqwaan. Sepasang suami-istteri (Layla-Abdul Aziz) oleh Allah azza wa jalla, dianugerahi seorang anak laki-laki yang lembut, cerah, tampan, dan amat menyenangkan yang memandang. Mereka sepakat memberi nama dengan nama kakeknya al-Faruq Umar Ibn Khaththab radhiyallahu 'anhu.Akhirnya, di pelataran kehidupan dunia ini, lahir seorang anak laki-laki bernama Umar bin Abdul Aziz, yang terhimpun pada dirinya kemulian dari dua orang, ayah dan ibu, yang masih keturunan Umar Ibn Kaththab.

Suatu hari, Umar Ibn Kaththab bangun tidur dengan perasaan yang bahagia. Lalu, ia berkata:"Alangkah bahagianya sekiranya ada dari keturunanku yang mengisi dunia ini dengan keadilan, sebagaimana dunia ini dipenuhi dengan kedzaliman", gumamnya. Dalam perjalanan hidupnya, pemuda Umar bin Abdul Aziz, tumbuh di tengah keharuman iman, dan kesemerbakan ilmu. Kala itu, kota Madinah yang suci, masih ada Sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wa salam. Sehingga, Umar bin Abdul Aziz, masih sempat menimba ilmu dari mereka. Umar bin Abdul Abdul Aziz masih bertemu dengan Abdullah bin Umar radhiyallahu 'anhuma. "Wahai ibuku, aku ingin menjadi seperti pamanku – yakni Abdullah bin Umar rahdiyallahu 'anhuma". Mendengar ucapan anaknya itu, betapa bahagia ibunya. "Engkau tentu akan menjadi seperti pamanmu. Engkau tentu akan menjadi seperti dia!", jawab ibunya.

Ketika itu, Umar bin Abdul Aziz menjadi Gubernur Madinah, dan ruangan tamunya, selalu ditepnuhi oleh orang-orang yang shaleh, para ulama yang jujur dan ahli syariat. Ruangannya selalu diisi dengan dzikrullah dan diskusi ilmu yang bermanfaat. Sampai, suatu hari pelayannya mengantarkan hendak memukul pelayannya, sebelum dipukul pelayan itu berucap: "Wahai Umar! Ingatlah kepada malam yang paginya menjadi kiamat", ucap sang pelayan. Kala mendengar ucapan pelayan itu, Umar bin Abdul Aziz, lalu berubah total. Seluruh hidup berubah. Ia tinggalkan segala bentuk kemewahan. Makanan yang lezat, pakaian yang indah, yang terbuat dari sutera, ia tinggal kenikmatan duniawi.

Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah meriwayatkan sebuah hadist: "Sesungguhnya, Allaha Tabaraka wa Ta'ala akan membangkitkan pada setiap seratus tahun oran yang memperbaharui (mujaddid) terhadap agama bagi umat ini". Selanjutnya, Imam Ahmad menyatakan: "Kami melihat seratus tahun pertama, ternyata Umar bin Abdul Aziz", tambahnya.

Umar telah menthalak dunia dengan talak tiga (talak ba'in). Ia telah meninggalkan sebab yang mengantarkannya kepada kesenangan dunia. Ia telah memuntahkannya. Ia tidak membuat bangunan, dan tidak menyusun batu bata di atas batu bata yang lain. Ia orang yang sangat lembut hatinya. Lekuk matanya terus mengalir bulir-bulir air mata. Umar selalu inga akan kematiannya. Muqatil bin Hayyan rahimahullah bercerita: "Aku pernah shalat di belakang Umar bin Abdul Aziz. Ketika ia membaca ayat "Dan berhentikanlah mereka. Sesungguhnya, mrekaakan ditanya ". Dan, ayat itu diulang-ulang, sampai Umar tak mampu melanjutkan bacaannya, karena menangis.

Pemerintahan Umar bin Abdul Aziz sangatlah pendek. Hanya kurang dari dua tahun. Tapi, seluruh negeri mendapatkan keadilan. Bahkan, ketika menjelang usainya ramadhan, tak lagi ditemukan di seluruh negeri, rakyatnya yang berhak mendapatkan zakat. Umar bin Abdul Aziz adalah khalifah yang alim, adil, dan ahli zuhud.

Ketika ia meninggal hanya meninggalkan dua potong baju, yang ia pakai, dan sebuah hambal, yang ia gunakan menerima tamu. Padahal, dia seorang khalifah. Wallahu 'alam.

Mencintai Rakyatnya Melebihi Dirinya

Kota Madinah masih gelap. Diselimuti malam. Malam masih belum mulai beranjak pagi. Suasananya sepi. Penduduknya terlelap oleh buaian tidur. Hanya suara angin gurun pasir menerpa pohon dan bangunan disertai udara dingin yang menusuk.

Seorang laki-laki berjalan sendirian dikegelapan. Menelusuri lorong-lorong rumah penduduk Madinah. Mungkin ini tak lazim. Tak lazim bagi orang yang tak memiliki tujuan. Langkah kakinya terus menembus kegelapan malam. Tak menghiraukan dinginnya udara malam. Apa yang dicari laki-laki itu? Adakah malam itu begitu penting bagi laki-laki itu? Malam terus beranjak. Sampai laki-laki itu berhenti dan berdiri di dekat sebuah rumah yang kecil.

Laki-laki itu mendengar suara wanita. Dialog antara ibu dan anaknya. Wanita tua itu menyuruh anaknya mencampur susu yang akan dijual dengan air. "Ibunda. Amirul Mu'minin melarang perbuatan seperti itu", tukas anaknya. "Tetapi, Amirul Mu'minin tidak ada bersama kita", sahut ibunya. "Kalaupun Amirul Mu'minin tidak melihat kita, bukankah Allah selalu mengawasi kita", tegas anaknya. Laki-laki yang berdiri dekat rumah itu tercenung, ketika ia mendengar dialog ibu dengan anaknya.

Laki-laki yang berjalan digelapan malam, dan menelusuri lorong-lorong kota Madinah, tak lain adalah Khalifah Umar Ibn Kaththab. Ketika orang-orang terlelap tidur dan istirahat di malam hari, justru ia mengelilingi Madinah, ingin mengetahui keadaan rakyatnya. Tak puas hanya dengan laporan para pejabatnya. Khalifah Umar ingin melihat langsung keadaan rakyatnya. Masih adakah rakyatnya yang tak dapat tidur di malam hari, karena perutnya lapar? Adakah rakyat yang memerlukan bantuan? Wanita-wanita tua, janda, dan anak-anak yatim, tak boleh mereka lapar. Umar rela tak tidur di malam hari. Ia takut kalau-kalau rakyatnya ada yang kelaparan.

Khalifah Umar Ibn Kaththab yang sangat mencintai rakyatnya itu, pikirannya terus dibayangi dialog antara ibu dengan anaknya. Umar benar-benar tersentuh ucapan anak perempuan itu. Kemudian, di pagi hari ia mengumpulkan seluruh anak laki-lakinya, dan menceritakan perihal dialog antara ibu dengan anaknya, yang ia dengar kepada anak-anaknya, ketika ia melakukan kunjungan ke rumah-rumah penduduk di malam hari. Umar menyuruh di antara anak laki-lakinya menikahi anak perempuan itu. Lalu, salah seorang anaknya bernama Ashim, menunjukkan tangan, menyatakan keinginannya menikahi anak wanita itu "Kalau begitu, pergilah dan nikahlah dengannya. Alangkah baiknya engkau datang dengan seorang penunggang kuda yang menguasai bangsa Arab", ujar Umar.

Ashim menikahi anak perempuan yang bertaqwa dan berbakti itu.Kedua suami-isteri itu menjalani kehidupannya. Lalu, Allah azza wa jalla menakdirkan keduanya mempunyai seorang anak, anak wanita yang diberi nama Layla. Anak perempuan begitu cantik dan lembut. Selanjutnya, Layla menapaki kehidupan, dan mendapat asuhan dan bimbingan dari kedua orang tuanya, yang shaleh, putra Umar Ibn Kaththab. Ketika, Layla mencapai usia nikah, ia dilamar oleh Abdul Aziz bin Marwan bin Hakam, seorang pembesar dari bani Marwan setelah saudaranya Abdul Malik bin Marwan. Usai akan nikah, Layla dibawa ke istana oleh suaminya, Abdul Aziz, dan bergabunglah antara kemuliaan dan ketaqwaan. Sepasang suami-istteri (Layla-Abdul Aziz) oleh Allah azza wa jalla, dianugerahi seorang anak laki-laki yang lembut, cerah, tampan, dan amat menyenangkan yang memandang. Mereka sepakat memberi nama dengan nama kakeknya al-Faruq Umar Ibn Khaththab radhiyallahu 'anhu.Akhirnya, di pelataran kehidupan dunia ini, lahir seorang anak laki-laki bernama Umar bin Abdul Aziz, yang terhimpun pada dirinya kemulian dari dua orang, ayah dan ibu, yang masih keturunan Umar Ibn Kaththab.

Suatu hari, Umar Ibn Kaththab bangun tidur dengan perasaan yang bahagia. Lalu, ia berkata:"Alangkah bahagianya sekiranya ada dari keturunanku yang mengisi dunia ini dengan keadilan, sebagaimana dunia ini dipenuhi dengan kedzaliman", gumamnya. Dalam perjalanan hidupnya, pemuda Umar bin Abdul Aziz, tumbuh di tengah keharuman iman, dan kesemerbakan ilmu. Kala itu, kota Madinah yang suci, masih ada Sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wa salam. Sehingga, Umar bin Abdul Aziz, masih sempat menimba ilmu dari mereka. Umar bin Abdul Abdul Aziz masih bertemu dengan Abdullah bin Umar radhiyallahu 'anhuma. "Wahai ibuku, aku ingin menjadi seperti pamanku – yakni Abdullah bin Umar rahdiyallahu 'anhuma". Mendengar ucapan anaknya itu, betapa bahagia ibunya. "Engkau tentu akan menjadi seperti pamanmu. Engkau tentu akan menjadi seperti dia!", jawab ibunya.

Ketika itu, Umar bin Abdul Aziz menjadi Gubernur Madinah, dan ruangan tamunya, selalu ditepnuhi oleh orang-orang yang shaleh, para ulama yang jujur dan ahli syariat. Ruangannya selalu diisi dengan dzikrullah dan diskusi ilmu yang bermanfaat. Sampai, suatu hari pelayannya mengantarkan hendak memukul pelayannya, sebelum dipukul pelayan itu berucap: "Wahai Umar! Ingatlah kepada malam yang paginya menjadi kiamat", ucap sang pelayan. Kala mendengar ucapan pelayan itu, Umar bin Abdul Aziz, lalu berubah total. Seluruh hidup berubah. Ia tinggalkan segala bentuk kemewahan. Makanan yang lezat, pakaian yang indah, yang terbuat dari sutera, ia tinggal kenikmatan duniawi.

Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah meriwayatkan sebuah hadist: "Sesungguhnya, Allaha Tabaraka wa Ta'ala akan membangkitkan pada setiap seratus tahun oran yang memperbaharui (mujaddid) terhadap agama bagi umat ini". Selanjutnya, Imam Ahmad menyatakan: "Kami melihat seratus tahun pertama, ternyata Umar bin Abdul Aziz", tambahnya.

Umar telah menthalak dunia dengan talak tiga (talak ba'in). Ia telah meninggalkan sebab yang mengantarkannya kepada kesenangan dunia. Ia telah memuntahkannya. Ia tidak membuat bangunan, dan tidak menyusun batu bata di atas batu bata yang lain. Ia orang yang sangat lembut hatinya. Lekuk matanya terus mengalir bulir-bulir air mata. Umar selalu inga akan kematiannya. Muqatil bin Hayyan rahimahullah bercerita: "Aku pernah shalat di belakang Umar bin Abdul Aziz. Ketika ia membaca ayat "Dan berhentikanlah mereka. Sesungguhnya, mrekaakan ditanya ". Dan, ayat itu diulang-ulang, sampai Umar tak mampu melanjutkan bacaannya, karena menangis.

Pemerintahan Umar bin Abdul Aziz sangatlah pendek. Hanya kurang dari dua tahun. Tapi, seluruh negeri mendapatkan keadilan. Bahkan, ketika menjelang usainya ramadhan, tak lagi ditemukan di seluruh negeri, rakyatnya yang berhak mendapatkan zakat. Umar bin Abdul Aziz adalah khalifah yang alim, adil, dan ahli zuhud.

Ketika ia meninggal hanya meninggalkan dua potong baju, yang ia pakai, dan sebuah hambal, yang ia gunakan menerima tamu. Padahal, dia seorang khalifah. Wallahu 'alam.

Betapa bahagianya umat di zaman ini bila bertemu dengan seorang yang memiliki sikap hidup seperti Said Ibn Mussayyib. Dia merasa cukup hanya dengan Allah azza wa jalla. Tak memerlukan yang lain. Hidupnya tak pernah merasa kekurangan lagi, karena Allah azza wa jalla telah menganugerahi ilmu dan zuhud. "Barangsiapa merasa cukup hanya dengan Allah, maka manusia akan butuh kepadanya", ucap Said Ibn Mussayyib.

Sebuah kisah, menceritakan, tentang putrinya yang amat cantik hendak disunting oleh Khalifah Abdul Malik bin Marwan untuk dinikahkan dengan putranya Walid bin Abdul Malik. Tapi, bukannya Said Ibn Mussayyib gembira atas pinangan dari keluarga Khalifah Abdul Malik bin Marwan, justru dia menolak pinangan itu. Mengapa Said menolak pinangan itu? Bukankah di tangan Khalifah Abdul Malik, segala harta, emas, perak, berlian, tak ternilai dan tak terhitung banyaknya. Kekuasaan ada di tangan Khalifah. Betapa kehidupan keluarga Said Ibn Mussayyib akan menjadi bergelimang dengan segala bentuk harta, bila dia mau berbesan dengan Khalifah Abdul Malik bin Marwan. Mengapa?

Padahal Walid bin Abdul Malik adalah keturunan Quresy yang terbaik. Tak ada yang cacad. Mengapa Said Ibn Mussayyib menolak pinangan Khalifah Abdul Malik itu? Karena dia takut bila putrinya masuk ke dalam Istana Bani Ummayyah, agamanya akan terkena fitnah. Itulah sikap Said Ibn Mussayyib. Dia lebih mengutamakan agama dibandingkan dengan harta dunia. Padahal, bila Said menginginkannya, dia dan putrinya akan mendapatkan kemuliaan harta dan kekuasaan, bahkan nasabnya akan ikut terangkat. Karena, Walib bin Abdul Malik bin Marwan adalah keturunan Qureys terbaik.

Said mencintai putrinya bagaikana mencintai dirinya sendiri. Maka, dia ingin agar putrinya mengikuti jejak langkahnya. Dia mengajari ilmu kepada putrinya, sebelum mengajari orang lain. Said mengutamakan putrinya. Dia membimbing putrinya dengan cahaya Allah, sebelum dia menyebarkan cahaya itu kepada orang lain. Ketika, Said menolak permintaan sang Khalifah agar putrinya dinikahkan dengan putranya yang sebentar lagi akan menjadi Khlifah, dan menggantikan ayahnya, Said justru memilihkan putrinya dengan seorang pria shaleh, yang akan mengendalikan perjalanan hidupnya denggan kitabullah (al-Qur'an).

Lalu, siapakah pria yang dipilih Said Ibn Mussayyib itu? Pria pilihan Said itu, bukanlah keturunan bangsawan, yang hidup bergelimang harta. Bukan pula seorang menteri yang memiliki kedudukan tinggi, dan bukan pula seorang pengusaha kaya raya (konglomerat), yang uangnya melimpah. Pria yang menjadi pilihan Said Ibn Mussayyib itu adalah pria yang termiskin, yang tidak memiliki apa-apa, selain uang tiga dirham. Sungguh, betapa detik-detik yang sangat membahagiakan bagi pria yang akan menjadi menantu Said Ibn Mussayyib. Dan, pria shaleh itu bernama Abu Wada'ah, yang tak lain adalah murid Said Ibn Mussayyib sendiri.

Suatu ketika, Said Ibn Mussayyib, bertanya kepada Abu Wada'ah: "Pernahkah engkau memikirkan tentang wanita?". "Semoga Allah menghujani rahmat kepada engkau. Siapakah yang mau menikahkan aku? Aku orang miskin. Hanya memiliki uang dua dirham", jawab Abu Wada'ah. Pada saat itu juga Said Ibn Mussayyib menikahkan Abu Wada'ah dengan putrinya, dan uang tiga dirham itu menjadi mas kawinnya. Maka, pria yang masih murid Said itu bersuka cita, usai mengucapkan ijab. Pikirannya menarawang. Sedikit memikirkan hidup yang bakal dijalaninya. Bagaimana harus menghidupi isterinya, dan di mana ia akan tinggal? Dan, apakah isterinya akan tinggal di rumah yang sangat sederhana, yang ia tinggali itu? Saat pikirannya sedang menerawang, ia mendengar azan, dan ia berbuka puasa, hanya dengan roti dan minyak zaitun.

Abu Wada'ah yang tengah menikmati roti yang dimakannya itu, tiba-tiba mendengar ketukan pintu. "Siapa diluar?", tanya Abu Wada'ah. "Said", jawabnya. Semua orang yang aku kenal bernama Said tergambar dengan jelas dalam benakku, kecuali Said Ibn Mussayyib. Ternyata yang datang adalah Said Ibn Mussayyib, ketika aku membukakan pintu. "Wahai guru, mengapa tidak mengutus orang lain untuk memanggilku?", tanya Abu Wada'ah. "Engkau lebih patut aku datangi", ujarnya. Lalu, "Sampai tadi, engkau masih bujangan. Sekarang, engkau telah menikah. Aku tidak ingin engkau tidur sendirian malam ini. Karena itu aku bawakan isterimu", tandas Said Ibn Mussayyib. Betapa bahagianya Abu Wada'ah malam itu. Ia tak lagi sendirian. Bersama isterinya yang telah ia nikahi.

Sebulan lamanya, antara guru dan murid tak bertemu. Antara Said Ibn Mussayyib dan Abu Wada'ah tak bertemu. Sampai bulan berikutnya antara guru dan murid bertemu. Usai pengajian. Para murid Said sudah meninggalkan ruangan. Tinggal Abu Wada'ah. Tak lama, Said menemui muridnya. Ia mendekati muridnya itu, lalu bertanya: Bagaimana anakku itu? Lalu, Abu Wada'ah menjawab: "Baik. Sesuai dengan apa yang disenangi kawan, dan dibenci musuh". Said bertanya lagi: "Jika ada sesautu yang membuatmu tidak ridha, pakailah tongkat ini", tambahnya. Ketika aku meninggalkan rumah Said, aku diberi uang sebesar 20.000 dirham.

Said Ibn Mussayyib telah memberikan contoh yang luar biasa. Pernikahan itu bukanlah pemborosan. Bukan memarenkan kesombongan. Dengan menghabiskan uang berpuluh milyar. Makanan diimport, bunga yang menjadi perhiasan diimport, gaun pengantin yang bermilyar, dari para perancang mode yang paling terkenal, dan gedung-gedung mewah, yang kemilau. Semua itu mubazir dan tak ada manfaatnya di sisi Allah.

Said Ibn Mussayyib, sejak lima puluh tahun, tak pernah telat takbiratul ihram dalam shalat berjamaah, tak pernah melihat tengkuk seseorang dalam shalat selama lima puluh tahun. Ia banyak berpuasa dan menunaikan ibadah haji sebanyak empat puluh kali. Ia telah menghimpun ilmu, kefaqihan, wara', ahli ibadah, zuhud, dan tidak menoleh dunia. Ia pun menolak pemberian. Suatu ketika, saudaranya datang memberikan uang 4 ribu dirham, tapi ia menolaknya.
Khalifah Umar bin Abdul Azizpun sangat menghormati Said Ibn Mussayyib. Umar tak pernah memutuskan suatu perkara sebelum berkonsultasi dengan Said.

Said Ibn Mussayybi menimba ilmu dari Sa'ad bin Abi Waqqash, Zaid bin Tsabit, Ibnu Abbas, Abdullah bin Umar, dan belajar dari para isteri Baginda Rasulullah Shallallahu alaihi wa salam, seperti Aisyah dan Ummu Salamah radhiyallahu anhuma. Said juga mendengar ilmu dari Utsman, Ali, dan Shuhaib. Bahkan, Said menikah dengan putrid Abu Harairah.
Semoga kita bisa meneladaninya. Wallaha 'alam.

Qona'ah

Betapa bahagianya umat di zaman ini bila bertemu dengan seorang yang memiliki sikap hidup seperti Said Ibn Mussayyib. Dia merasa cukup hanya dengan Allah azza wa jalla. Tak memerlukan yang lain. Hidupnya tak pernah merasa kekurangan lagi, karena Allah azza wa jalla telah menganugerahi ilmu dan zuhud. "Barangsiapa merasa cukup hanya dengan Allah, maka manusia akan butuh kepadanya", ucap Said Ibn Mussayyib.

Sebuah kisah, menceritakan, tentang putrinya yang amat cantik hendak disunting oleh Khalifah Abdul Malik bin Marwan untuk dinikahkan dengan putranya Walid bin Abdul Malik. Tapi, bukannya Said Ibn Mussayyib gembira atas pinangan dari keluarga Khalifah Abdul Malik bin Marwan, justru dia menolak pinangan itu. Mengapa Said menolak pinangan itu? Bukankah di tangan Khalifah Abdul Malik, segala harta, emas, perak, berlian, tak ternilai dan tak terhitung banyaknya. Kekuasaan ada di tangan Khalifah. Betapa kehidupan keluarga Said Ibn Mussayyib akan menjadi bergelimang dengan segala bentuk harta, bila dia mau berbesan dengan Khalifah Abdul Malik bin Marwan. Mengapa?

Padahal Walid bin Abdul Malik adalah keturunan Quresy yang terbaik. Tak ada yang cacad. Mengapa Said Ibn Mussayyib menolak pinangan Khalifah Abdul Malik itu? Karena dia takut bila putrinya masuk ke dalam Istana Bani Ummayyah, agamanya akan terkena fitnah. Itulah sikap Said Ibn Mussayyib. Dia lebih mengutamakan agama dibandingkan dengan harta dunia. Padahal, bila Said menginginkannya, dia dan putrinya akan mendapatkan kemuliaan harta dan kekuasaan, bahkan nasabnya akan ikut terangkat. Karena, Walib bin Abdul Malik bin Marwan adalah keturunan Qureys terbaik.

Said mencintai putrinya bagaikana mencintai dirinya sendiri. Maka, dia ingin agar putrinya mengikuti jejak langkahnya. Dia mengajari ilmu kepada putrinya, sebelum mengajari orang lain. Said mengutamakan putrinya. Dia membimbing putrinya dengan cahaya Allah, sebelum dia menyebarkan cahaya itu kepada orang lain. Ketika, Said menolak permintaan sang Khalifah agar putrinya dinikahkan dengan putranya yang sebentar lagi akan menjadi Khlifah, dan menggantikan ayahnya, Said justru memilihkan putrinya dengan seorang pria shaleh, yang akan mengendalikan perjalanan hidupnya denggan kitabullah (al-Qur'an).

Lalu, siapakah pria yang dipilih Said Ibn Mussayyib itu? Pria pilihan Said itu, bukanlah keturunan bangsawan, yang hidup bergelimang harta. Bukan pula seorang menteri yang memiliki kedudukan tinggi, dan bukan pula seorang pengusaha kaya raya (konglomerat), yang uangnya melimpah. Pria yang menjadi pilihan Said Ibn Mussayyib itu adalah pria yang termiskin, yang tidak memiliki apa-apa, selain uang tiga dirham. Sungguh, betapa detik-detik yang sangat membahagiakan bagi pria yang akan menjadi menantu Said Ibn Mussayyib. Dan, pria shaleh itu bernama Abu Wada'ah, yang tak lain adalah murid Said Ibn Mussayyib sendiri.

Suatu ketika, Said Ibn Mussayyib, bertanya kepada Abu Wada'ah: "Pernahkah engkau memikirkan tentang wanita?". "Semoga Allah menghujani rahmat kepada engkau. Siapakah yang mau menikahkan aku? Aku orang miskin. Hanya memiliki uang dua dirham", jawab Abu Wada'ah. Pada saat itu juga Said Ibn Mussayyib menikahkan Abu Wada'ah dengan putrinya, dan uang tiga dirham itu menjadi mas kawinnya. Maka, pria yang masih murid Said itu bersuka cita, usai mengucapkan ijab. Pikirannya menarawang. Sedikit memikirkan hidup yang bakal dijalaninya. Bagaimana harus menghidupi isterinya, dan di mana ia akan tinggal? Dan, apakah isterinya akan tinggal di rumah yang sangat sederhana, yang ia tinggali itu? Saat pikirannya sedang menerawang, ia mendengar azan, dan ia berbuka puasa, hanya dengan roti dan minyak zaitun.

Abu Wada'ah yang tengah menikmati roti yang dimakannya itu, tiba-tiba mendengar ketukan pintu. "Siapa diluar?", tanya Abu Wada'ah. "Said", jawabnya. Semua orang yang aku kenal bernama Said tergambar dengan jelas dalam benakku, kecuali Said Ibn Mussayyib. Ternyata yang datang adalah Said Ibn Mussayyib, ketika aku membukakan pintu. "Wahai guru, mengapa tidak mengutus orang lain untuk memanggilku?", tanya Abu Wada'ah. "Engkau lebih patut aku datangi", ujarnya. Lalu, "Sampai tadi, engkau masih bujangan. Sekarang, engkau telah menikah. Aku tidak ingin engkau tidur sendirian malam ini. Karena itu aku bawakan isterimu", tandas Said Ibn Mussayyib. Betapa bahagianya Abu Wada'ah malam itu. Ia tak lagi sendirian. Bersama isterinya yang telah ia nikahi.

Sebulan lamanya, antara guru dan murid tak bertemu. Antara Said Ibn Mussayyib dan Abu Wada'ah tak bertemu. Sampai bulan berikutnya antara guru dan murid bertemu. Usai pengajian. Para murid Said sudah meninggalkan ruangan. Tinggal Abu Wada'ah. Tak lama, Said menemui muridnya. Ia mendekati muridnya itu, lalu bertanya: Bagaimana anakku itu? Lalu, Abu Wada'ah menjawab: "Baik. Sesuai dengan apa yang disenangi kawan, dan dibenci musuh". Said bertanya lagi: "Jika ada sesautu yang membuatmu tidak ridha, pakailah tongkat ini", tambahnya. Ketika aku meninggalkan rumah Said, aku diberi uang sebesar 20.000 dirham.

Said Ibn Mussayyib telah memberikan contoh yang luar biasa. Pernikahan itu bukanlah pemborosan. Bukan memarenkan kesombongan. Dengan menghabiskan uang berpuluh milyar. Makanan diimport, bunga yang menjadi perhiasan diimport, gaun pengantin yang bermilyar, dari para perancang mode yang paling terkenal, dan gedung-gedung mewah, yang kemilau. Semua itu mubazir dan tak ada manfaatnya di sisi Allah.

Said Ibn Mussayyib, sejak lima puluh tahun, tak pernah telat takbiratul ihram dalam shalat berjamaah, tak pernah melihat tengkuk seseorang dalam shalat selama lima puluh tahun. Ia banyak berpuasa dan menunaikan ibadah haji sebanyak empat puluh kali. Ia telah menghimpun ilmu, kefaqihan, wara', ahli ibadah, zuhud, dan tidak menoleh dunia. Ia pun menolak pemberian. Suatu ketika, saudaranya datang memberikan uang 4 ribu dirham, tapi ia menolaknya.
Khalifah Umar bin Abdul Azizpun sangat menghormati Said Ibn Mussayyib. Umar tak pernah memutuskan suatu perkara sebelum berkonsultasi dengan Said.

Said Ibn Mussayybi menimba ilmu dari Sa'ad bin Abi Waqqash, Zaid bin Tsabit, Ibnu Abbas, Abdullah bin Umar, dan belajar dari para isteri Baginda Rasulullah Shallallahu alaihi wa salam, seperti Aisyah dan Ummu Salamah radhiyallahu anhuma. Said juga mendengar ilmu dari Utsman, Ali, dan Shuhaib. Bahkan, Said menikah dengan putrid Abu Harairah.
Semoga kita bisa meneladaninya. Wallaha 'alam.

Orang Yang Selalu Memberi

Di ujung senja Kota Madinah begitu indah. Ufuk barat yang memerah. Menjelang tenggelamnya matahari. Dedaunan korma masih nampak. Udara mulai terasa dingin. Orang-orang lalu-lalang menikmati udara sore hari. Sebagiannya bersiap menuju tempat masjid. Di antaranya ada remaja yang sangat tampan. Dan, ia terlahir di kota itu, dan belajar serta menikmati ilmu, sampai menjelang dewasa.

Di halaman rumah yang rindang, bau bunga-bunga pohon yang wangi semerbak dari pangkalnya. Begitu. Lingkungan yang indah bagi mereka. Tak ada kegalauan. Tak ada kerisauan. Mereka adalah orang-orang yang senantiasa ingat kepada Allah azza wa jalla. Di kota yang merupakan pertama kali Baginda Rasulullah hijrah, bersama para Sahabat, membangun bangunan da'wah, ketika periode ta'sis (awal da'wah) di mulai. Tak banyak yang ikut. Mereka lah yang menjadi cikal bakal lahirnya peradaban dunia. Sampai hari ini. Islam memancarkan cahaya ke seluruh pelosok dunia. Di kota ini pula lahir Zainal Abidin.

Zainal Abidin, tak lain adalah cucu Ali bin Thalib, yang kakeknya Baginda Rasulullah shallallahu alaihi wa salam. Ia mereguk ilmu dari kakek-kakeknya, dan ia tak pernah puas-puas dengan ilmu yang telah didapatinya. Cucu Ali ini benar-benar menjadi 'zainal abidin' (penghias para hamba). Ia menjadi orang yang paling banyak beribadah. Imam Malik pernah menyatakan, bahwa "Dia dinamakan Zainal Abidin, karena ibadahnya". Ia menjadi tanda bagi umat manusia dalam hal ibadah yang menjadi tujuan orang-orang yang bertakwa.

Alangkah irinya kelak orang-orang di yaumul jaza' (hari pembalasan).Kelezatan yang dirasakan Zainal Abidin dalam beribadah bermunajat kepada Allah Ta'ala, sampai mendorongnya untuk melakukan shalat sehari seamalam seribu raka'at. Sungguh luar biasa. Dan, hal itu terus dikerjakannya sampai wafatnya. Wahai kaum muslimin! Perhatikanlah apa yang dilakukan Zainal Abidin. Dan, tidak mungkin lagi, terjadi di era ini. Di mana manusia hanya disibukkan oleh urusan dunia. Cucu Baginda Rasulullah shallallahu alaihi wa salam memandang sangat jijik kehidupan dunia, seperti ia memandang seekor lalat.

Suatu ketika, Zainal Abidin pergi menunaikan ibadah haji. Ketika berihram dan untanya berdiri tegak, warna kulitnya berwarna kuning, badannya gemetar. "Mengapa engkau tak mengucapkan talbiyah?", tanya orang-orang di sekelilingnya. "Aku takut, ketika mengucap labaik, dan Allah menjawab: "engkau tidak Aku sambut", dan ketika itu, ia jatuh pingsan, serta Zainal Abidin jatuh dari untanya. Cucu Ali it terus menerus mengalami kondisi seperti itu, sampai selesai haji. Betapa lembutnya hati Zainal Abidin, dan merasakan ma'iyatullah (kebersamaan dengan Allah). Hati yang lembut karena ketaatan dan mujahadah kepada Allah. Zainal Abidin tak pernah meninggalkan shalat malam sekalipun. Baik ketika di rumah atau ketika ia bepergian.

Said Ibn Mussayyib memuji Zainal Abidin, menyatakan: "Aku belum pernah melihat seorang pun yang lebih wara'selain dia!", ujar Said. Seorang ulama lainnya, berujar: "Ali Zainal Abidin bin Husien, karena kekerabatannya dengan Rasulullah shallallahu alaihi wa salam tidak pernah makan dengan uang lebih dari satu dirham". Zainal Abidin sangat zuhud terhadap dunia.Ia menolak kehidupan dunia, dan selalu memperbaiki kehidupan akhiratnya. Suatu ketika, Mukhtar bin Abu Ubaid, memberinya uang sebanyak 100.000 dinar. Dia menolaknya. Tapi, dia takut, karena Mukhtar, sebagai pejabat yang terkenal bengis dan kejam.Ketika Mukhtar terbunuh, Zainal Abidin memberitahukan kepada Abdul Malik bin Marwan tentang uang itu. Abdul Malik mengutus utusan, dan menyuruh berkata kepada Zainal Abidin: "Wahai putra pamanku, ambillah uang itu. Aku telah merelakannya untukmu". Zainal Abidin mengambil uang itu, lalu mendermakannya sampai habis.

Suatu hari, Zainal Abidin menjenguk Muhammad bin Usamah bin Ziad rahimahullah yang berbaring sakit. "Mengapa engkau menangis?, tanya Zainal. "Aku banyak mempunyai utang", jawabnya. "Berapa banyak?", tanya Zainal. Muhammad menjawab: "Tujuh belas ribu dinar", jawabnya. Lalu, Zainal mengatakan:"Biarlah aku yang menanggungnya". Begitulah kedermawanan Zainal Abidin.

Ketika ia hendak pergi haji, Sulaimah binti Husien memberikan bekal perjalanan, tapi malah uang yang ia terimanya sebanyak 100 dirham, dibagi-bagikan kepada orang fakir miskin. Banyak penduduk Madinah yang mendapatkan tunjangan. Tapi, tidak tahu darimana tunjangan itu asalnya. Mereka baru tahu, ketika Zainal Abidin wafat, dan tunjangan itu berhenti. "Kita tidak pernah kehilangan sedekah rahasia, sampai Zainal Abidin Ali wafat", ungkap mereka.
Pribadi cucu Baginda Rasulullah shallallahu alaihi wa salam ini, betapa sangat santunnya, sampai suatu saat, ia menjamu para tamunya. Dan, seorang pelayan sedang membawa sate, pelayan itu jatuh, dan menimpa putranya, sampai putranya itu meninggal. Karena pelayan itu tergesa-gesa. Zainal Abidin tidak marah. "Engkau merdeka. Engkau melakukannya tidak sengaja", tegasnya.
Bagaimanapun Zainal Abidin adalah pribadi yang sangat indah. Nasehatnya kepada penduduk Iraq: "Wahai penduduk Iraq, cintailah kami dengan cinta Islam. Jangan mencintai kami dengan cinta berhala. Cinta kalian tetap ada pada kami sampai menjadi suatu noda atas kami".

Kegalauan yang sangat menyedihkan dan merusak di negeri 1001 malam, tak lain karena cinta kepada berhala, bukan cinta kepada Rabbnya. Mereka saling membunuh dan porak-poranda, karena mengasihi sesuatu yang tidak layak, dikasihi dan dicintai. Wallahu 'alam.


Kematian

Sebuah hadist menyebutkan, orang yang cerdas adalah orang selalu mngingat kematian. Dengan mengingat kematiana itu, manusia akan mengorientasikan seluruh hidupnya untuk kebaikan.

Ketika manusia mengingat kematian, mereka pasti akan menggunakan potensi-potensi dirinya hanya untuk beramal kebaikan. Manusia yang selalu mengingat kematian akan memutus dan menarik garis pembatas dengan segala perbuatan dosa, serta tidak akan pernah berkompromi dengan perbuatan durhaka.

Manusia pasti melalui iring-iringan kematian, mengingat akhir kehidupan yang pasti datang ini, waktu yang sudah Allah Ta'ala takdirkan buat anak Adam, di mana ketika itu, seorang tiran menjadi hina, pendurhaka menunduk lesu, pendosa ingin bertobat, dan orang-orang yang memberontak terhadap kekuasaan Rabbnya menjadi murung dan sedih.
Kematian adalah saat yang memilukan. Kematian akan sama-sama dialami oleh para raja, para penguasa, rakyat jelata, atasan dan bawahan, si kaya dan si miskin. Tak ada satupun keturunan anak Adam, yang luput dari peristiwa kematian.

Betapa pun panjang usia, dan betapa asyik masyuknya dengan masa muda, yang sehat dan gagah, manusia tetap akan mengalami saat kematian. Walaupun, manusia memiliki mobil-mobil, gedung-gedung, tinggal di apartemen yang super luk dan mewah, memakai pakaian yang terbuat dari sutera yang halus dan lembut, menikmati berbagai makanan restoran yang serba lezat, saling berkunjung dan banyak mengumbar gelak dan tawa, ketika datang kematian, semuanya itu pasti pupus dan tak berarti apa-apa.

Kadang-kadang manusia lupa akan kematian. Karena tenggelam dalam kenikmatan dunia, yang hanya sebentar itu. Kadang-kadang kehidupan dunia membuat manusia terhempas dalam khayalan yang tak ada ujungnya. Mereka terus menerus melanglang mengikuti hawa nafsunya, yang seakan tak berbatas. Manusia ingin mereguk segala kenikmatan dunia. Manusia yang mengejar kenikmatan dunia itu, bagaikan mereka yang mengejar fatamorgana di padang pasir, yang tak pernah mendapatkan kepuasan, dan tak pernah menemukan air yang dapat menghilangkan rasa dahaganya.

Mengapa manusia menjadi lupa terhadap hakekat tujuan hidupnya? Mengapa manusia melupakan akan pertanggung-jawaban yang pasti akan diminta oleh Sang Pencipta Allah Rabbul Azis itu? Mengapa manusia berkhianat terhadap dzat yang menciptakan dirinya? Mengapa manusia hanya menghabiskan waktunya untuk bersenda gurau dan main-main? Mengapa manusia memilih bergaul dan bercengkerama dengan para ahlul maksiat dan ahlul bathil?

"Tidak ada tempat yang bisa didiami seseorang setelah mati,
kecuali yang telah ia kerjakan sebelum mati.
Jika ia mengerjakan kebajikan, maka tempatnya pun baik,
tapi bila ia mengerjakan kejahatan, maka akan celakalah pembuatnya.
Buat ahli waris yang sibuk megumpulkan harta benda dunia,
pasti tak ada gunanya bagi mereka yang sudah mati".

Suatu saat, tatkala ajalnya sudah mendekat Amr Ibn Ash menangis lama ….Kapan lagi seseorang menangis bila tidak pada saat seperti ini? Dan, ketika ia sedang menangis, datanglah anaknya yang sangat zuhud yaitu Abdullah. Ia mengingatkan ayahnya agar berbaik sangka kepada Allah Ta'ala, dan selalu menaruh harapan kepada-Nya.

"Bukankah engkau telah masuk Islam, ayah?", tukas Abdullah. "Engkau telah ikut hijrah bersama Rasulullah Saw?", tambahnya. "Bukankah Rasulullah Saw telah mengangkat engkau menjadi panglima perang?", lanjut Abdullah. "Bukankah ayah telah menaklukan Mesir?", tegas Abdullah. Tapi, justru Amru Ibn Ash memalingkan mukanya ke dinding, sambil menangis panjang. Lalu, menghadapkan wajahnya ke orang-orang yang di sekelilingnya. Amru Ibn Ash menangis panjang, ketika ia mengingat kembali sebelum masuk Islam. "Adakah dosa-dosaku akan dihapuskan, ketika kelak aku menghadap Rabb?", gumam Amru Hanya satu kalimat yang masih tersisa padaku, yang akan kujadikan hujjah dihadapan Allah Ta'ala yaitu: "Laa ilaaha illallah, Muhammad Rasulullah".

Tentu, kalau ada orang yang dapat lolos dari kematian adalah Nabi Muhammad Saw. Tapi, kenyataannya tidak, dan Rasulullah Saw melewati saat yang juga dilewati manusa biasa.Padahal Rasulullah Saw adalah manusia yang paling mulia, dan kekasih Allah Rabbul Azis. Hanya bedanya dengan manusia biasa, beliau menerima kematian dengan lapang dada, karena telah banyak melakukan amal kebajikan.

Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw, ketika menghadapi sakaratul maut, mengambil khamishah (kain kecil), dan menaruhnya di wajah beliau, karena beratnya kondisi yang beliau hadapi. Lalu, beliau berdoa: "Laa ilahaa illallah…laa ilaaha illallah … laa ilaaha illallah. Sungguh, kematian itu amat pendih. Ya Allah, bantulah aku menghadapi sakaratul maut. Ya Allah, ringankanlah sakaratul maut ini buat ku".

Aisyah menuturkan: "Demi Allah, beliau mencelupkan kain itu ke air, lalu meletakkannya di atas wajahnya". Lalu, beliau berdoa: "Ya Allah, bantulah aku menghadapi sakaratul maut". Mengapa Rasulullah Saw berdoa seperti itu? Para Sahabat menafsirkan, beliau berdoa demikian, karena diberi dua pilihan. Diperpanjang usianya atau bertemu Tuhannya. Tetapi, beliau, 'justru memilih teman Tertingginya (Rabbnya)'. "Aku ingin segera meninggalkan dunia ini … aku ingin meninggal saat ini", ujar Rasulullah Saw.

Beliau tahu, betapapun panjangnya usia dan jauhnya ajal, beliau tetap akan mengalami kematian. Wallahu 'alam.

Menjelang Kematian

Bentuk keadilan Allah Rabbul Azis adalah tentang adanya kematian. Semua manusia pasti akan menemui kematian.

Tak ada satupun manusia yang dapat menolak dan menunda datangnya kematian. Kematian bukanlah episode akhir kehidupan manusia. Masih ada kehidupan yang lebih panjang, yang bersifat kekal-abadi, dan selama-lamanya, yaitu kehidupan akhirat. Kelak, posisi manusia di akhirat, sangatlah ditentukan selama kehidupannya di dunia.

Abu Bakar As-Shidiq ra, menjelang wafatnya, putrinya Aisyah datang menemui beliau. Aisyah duduk di dekat kepala ayahnya. Ia menangis: "Ayah, benar kata orang dahulu yang bersyair,
"Sungguh! Tidak ada gunanya kekayaan dunia,
Ketika napas tersengal dan dada sesak".

Lalu, Abu Bakar ra menoleh kepada Aisyah, dan berkata: "Anakku, jangan bicara seperti itu", ucap ayahnya. Lalu Khalifah Abu Bakar melanjutkan, katakanlah: "Dan, datanglah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya. Itulah yang dahulu hendak kamu hindari". (Qur'an: Qaf:19).

Sesudah Abu Bakar As-Shidiq wafat, banyak orang yang sibuk mencari harta peninggalannya. Khalifah Islam yang kekuasaannya sangat luas, membentang dari Bagdad sampai ke Afrika Utara, dan memimpin Dunia Islam, di mana 'emas dunia' (harta kekayaan ) berada di bawah kekuasaannya, rakyatnya hanya mendapati peninggalannya berupa seekor baghal dan dua potong pakaian. Sebelum wafatnya Abu Bakar berwasiat: "Kafani aku dengan satu kain saja. Kirimkan baghal dan pakaian yang satunya kepada Khalifah Umar Ibn Kaththab. Dan, katakana kepadanya: "Wahai Umar, bertakwalah kepada Allah. Jangan sampai Allah Ta'ala mewafatkan seperti aku ini".

Ketika baghal dan k ain itu sampai kepada Umar, ia terduduk menangis seraya berkata: "Engkau menyusahkan khalifah sesudahmu, wahai Abu Bakar!". Benar, demi Allah, Abu Bakar telah menyulitkan kahlifah sesudahnya. Demi Allah, Abu Bakar menyusahkan setiap pemimpin (Khalifah) sesudahnya untuk meneladani dan mengikuti jejak langkahnya.

Ibnul Qayim mengisahkan bahwa setiap pagi, bersamaan terbitnya fajar matahari, Abu Bakar keluar rumah menuju kemah yang berada dipinggiran kota Madinah, tujuannya ia menemui seorang rakyatnya, wanita tua renta, buta, malang, dan sangat menderita. Abu Bakar ra menyapukan rumahnya, memasakkan makanan, dan memerahkan susu kambingnya. Inilah yang dilakukan Abu Bakar ra, orang pertama setelah Rasulullah Saw, mujahid agung, dan Khalifah Rasulullah Saw. Dan, usai membantu wanita tua itu, Abu Bakar ra, kembali ke Madinah.

Umar pernah mengkuti kepergian Abu Bakar. Ke mana Khalifah Islam itu pergi setiap pagi? Ketika Abu Bakar keluar dari rumah orang tua itu, Umar pun masuk. Umar bertanya:"Kamu siapa?", ucapnya. "Saya hanyalah seoran perempuan tua yang malang, dan menderita. Suami saya sudah lama meninggal dunia, dan tidak ada yang menghidupi saya setelah Allah, kecuali orang yang datang tadi", jawab wanita tua itu.
Umar bertanya:"Kamu mengenalnya?",
"Tidak.Demi Allah, saya tidak mengenalnya", jawab wanita tua itu.
Umar bertanya lagi: "Lalu apa yang dia lakukan?",
"Menyapu rumah, menolong memerahkan susu, dan membuatkan makanan!", jawab wanita tua itu.

Mendengar tutur wanita itu, Umar terduduk sambil menangis.
Semoga Allah Ta'ala melimpahkan kesejahteraan kepada Abu Bakar, dan di antara orang-orang yang kekal di surga Nya. Semoga Allah Ta'ala meridhai nya di antara orang-orang yang shidiqin. Semoga pula Allah Ta'ala mempertemukan orangl-orang mu'min dengannya di surga. Amin. (disarikan dari Saat Mau tMenjemput - Aid al-Qarni) Mashadi.

Alam Kubur

Adakah dari kita yang tidak mengetahui bahwa suatu ketika akan datang
kematian pada kita. Allah Ta'ala telah berfirman, yang artinya,
"Setiap jiwa pasti akan merasakan kematian. Dan kami benar-benar akan
menguji kalian dengan kejelekan dan kebaikan, dan kepada kamilah
kalian akan dikembalikan." (QS. Al Anbiyaa': 35). Ya, setiap dari kita
insya Allah telah menyadari dan menyakini hal ini. Tetapi kebanyakan
orang telah lalai atau bahkan sengaja melalaikan diri mereka sendiri.
Satu persatu orang yang kita kasihi telah pergi (meninggal-ed) tapi
seakan-akan kematian mereka tidak meninggal faidah bagi kita, kecuali
rasa sedih akibat kehilangan mereka.

Saudariku, kematian adalah benar adanya. Begitu pula dengan kehidupan
setelah kematian. Kehidupan akhirat, inilah yang seharusnya kita tuju.
Kampung akhiratlah tempat kembali kita. Maka persiapkanlah bekal untuk
menempuh jauhnya perjalanan. Allah Ta'ala berfirman, yang artinya,
"Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan hanya permainan dan senda
gurau belaka. Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi
orang-orang yang bertaqwa. Maka tidakkah kamu memahaminya?" (QS. Al
An'am: 32)

Ketahuilah wahai hamba Allah! Bahwa kuburan adalah persinggahan
pertama menuju akhirat. Orang yang mati, berarti telah mengalami
kiamat kecil. Apabila seorang hamba telah dikubur, akan diperlihatkan
kepadanya tempat tinggalnya nanti pada pagi hari, yakni antara waktu
fajar dan terbit matahari, serta waktu sore, yakni antara waktu
dzhuhur hingga maghrib. Apabila ia termasuk penghuni Jannah, akan
diperlihatkan tempat tinggalnya di Jannah, dan apabila ia termasuk
penghuni Naar, akan diperlihatkan tempat tinggalnya di Naar.

Fitnah Kubur

Fitnah secara bahasa berarti ujian (ikhtibaar), sedangkan secara
istilah fitnah kubur adalah pertanyaan yang ditujukan kepada mayit
tentang Rabbnya, agamanya dan Nabinya. Hal ini benar berdasarkan Al
Qur'an dan Sunnah. (Lihat Syarah Lum'atul I'tiqod hal 67, syaikh
Muhammad bin Shalih al 'Utsaimin)

Diriwayat oleh Bukhari dan Muslim dari hadits Al Barra' bin 'Azib
bahwasanya ketika seorang mayit telah selesai dikuburkan dan
dihadapkan pada alam akhirat, maka akan datang padanya dua malaikat
(yaitu malaikat Munkar dan Nakir) yang akan bertanya kepada sang mayit
tiga pertanyaan.
Pertanyaan pertama, "Man Robbuka?" … Siapakah Robbmu?
Kedua, "Wa maa diinuka?" … dan apakah agamamu?
Ketiga, "Wa maa hadzaar rujululladzii bu'itsa fiikum?" … dan siapakah
orang yang telah diutus di antara kalian ini?

Tiga pertanyaan inilah yang disebut dengan fitnah kubur. Oleh karena
itu, tiga pertanyaan pokok ini merupakan masalah besar yang penting
dan mendesak untuk diketahui. Wajib bagi setiap manusia untuk
mengetahui, meyakini dan mengamalkan hal ini, baik secara lahir maupun
bathin. Tidak seorang pun dapat beralasan untuk tidak mengetahui tiga
hal tersebut dan tidak mempelajarinya. Bahkan ketiga hal ini harus
dipelajari sebelum hal lain. Perhatikanlah hal ini wahai saudariku!

Tiga pertanyaan ini juga awal dari nikmat dan siksaan di alam kubur.
Orang-orang yang bisa menjawab adalah orang-orang yang paham, yakin
dan mengamalkannya selama hidup sampai akhir hayat dan meninggal dalam
keimanan. Seorang mukmin yang bisa menjawab ketiga pertanyaan, maka
dia akan memperoleh nikmat kubur. Adapun orang kafir yang tidak bisa
menjawabnya, maka dia akan dihadapkan kepada adzab kubur.

Saudariku, Allah Ta'ala telah berfirman dalam Al Qur'an surah Ibrahim
27, yang artinya, "Allah Meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman
dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat,
dan Allah akan Menyesatkan orang-orang yang dzalim dan Memperbuat apa
yang Dia kehendaki."

Menurut Ibnu Katsir yang dimaksud dengan "ucapan yang teguh" adalah
seorang mukmin akan teguh di atas keimanan dan terjaga dari syubhat
dan ia akan terjaga di atas keimanan. Sedangkan di akhirat, ia akan
meninggal dalam keadaan husnul khatimah (dalam keadaan beriman) dan
bisa menjawab tiga pertanyaan.
Kita memohon kepada Allah semoga Dia meneguhkan iman kita ketika masih
hidup dan ketika akan meninggal dunia. Meneguhkan kita ketika menjawab
ketiga pertanyaan serta ketika dibangkitkan kelak di akhirat.
Keteguhan iman di dunia dan akhirat, inilah hakikat kebahagiaan yang
sesungguhnya.

Bentuk-Bentuk Siksa Kubur

Saudariku, telah disebutkan bahwa seorang yang kafir akan disiksa
karena tidak bisa menjawab ketiga pertanyaan. Akan tetapi, bukan
berarti seorang mukmin pasti akan terlepas dari adzab kubur. Seorang
mukmin bisa saja diadzab disebabkan maksiat yang dilakukannya, kecuali
bila Allah mengampuninya.
Syaikh Abu Ja'far Ahmad bin Muhammad Ath Thahawi berkata dalam
kitabnya Aqidah Ath-Thahawiyah, "Kita mengimani adanya adzab kubur
bagi orang yang berhak mendapatkannya, kita mengimani juga pertanyaan
Malaikat Munkar dan Nakir kepadanya di dalam kubur tentang Rabbnya,
agamanya, dan Nabinya berdasar kabar dari Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam serta para sahabat ridhwanallahu 'alaihim ajma'in.
Alam kubur adalah taman-taman jannah atau kubangan Naar."

Di antara bentuk-bentuk adzab kubur dan kriteria orang yang mengalaminya:

1. Dipecahkan kepalanya dengan batu, kemudian Allah tumbuhkan lagi
kepalanya, dipecahkan lagi demikian seterusnya. Ini adalah siksa bagi
orang yang mempelajari Al-Qur'an lalu tidak mengamalkannya dan juga
siksa bagi orang yang meninggalkan sholat wajib.
2. Dibelah ujung mulut hingga ke belakang kepala, demikian juga
hidung dan kedua matanya. Merupakan siksa bagi orang yang pergi dari
rumahnya di pagi hari lalu berdusta dan kedustaannya itu mencapai
ufuk.
3. Ada kaum lelaki dan perempuan telanjang berada dalam bangunan
menyerupai tungku. Tiba-tiba datanglah api dari bawah mereka. Mereka
adalah para pezina lelaki dan perempuan.
4. Dijejali batu, ketika sedang berenang, mandi di sungai. Ini
merupakan siksa bagi orang yang memakan riba.
5. Kaum yang separuh jasadnya bagus dan separuhnya lagi jelek
adalah kaum yang mencampurkan antara amal shalih dengan perbuatan
jelek, namun Allah mengampuni perbuatan jelek mereka.
6. Kaum yang memiliki kuku dari tembaga, yang mereka gunakan untuk
mencakari wajah dan dada mereka. Mereka adalah orang-orang yang suka
memakan daging orang lain (menggunjing) yakni membicarakan aib mereka.

Adzab dan nikmat kubur adalah benar adanya berdasarkan Al Qur'an, As
Sunnah dan 'ijma ahlu sunnah. Nabi shallahu 'alaihi wasallam selalu
memohon perlindungan kepada Allah dari adzab kubur dan memerintahkan
umatnya untuk melakukan hal itu. Dan hal ini hanya diingkari oleh
orang-orang Mulhid (atheis). Mereka mengatakan bahwa seandainya kita
membongkar kuburan tersebut, maka akan kita dapati keadaannya seperti
semula. Namun, dapat kita bantah dengan dua hal:

1. Dengan dalil Al Qur'an dan Sunnah dan 'ijma salaf yang
menunjukkan tentang adzab kubur.
2. Sesungguhnya keadaan akhirat tidak bisa disamakan dengan keadaan
dunia, maka adzab atau nikmat kubur tidaklah sama dengan apa yang bisa
ditangkap dengan indra di dunia. (Diringkas dari Syarah Lum'atul
I'tiqod, hal 65-66)

Banyak hadits-hadits mutawatir dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
tentang pembuktian adzab dan nikmat kubur bagi mereka yang berhak
mengecapnya. Demikian juga pertanyaan Munkar dan Nakir. Semua itu
harus diyakini dan diimani keberadaannya. Dan kita tidak boleh
mempertanyakan bagaimananya. Sebab akal memang tidak dapat memahami
bentuk sesungguhnya. Karena memang tak pernah mereka alami di dunia
ini.

Ketahuilah, bahwa siksa kubur adalah siksa di alam Barzakh.
Barangsiapa yang mati, dan berhak mendapatkan adzab, ia akan menerima
bagiannya. Baik ia dikubur maupun tidak. Meski dimangsa binatang buas,
atau terbakar hangus hingga menjadi abu dan bertaburan dibawa angin;
atau disalib dan tenggelam di dasar laut. Ruh dan jasadnya tetap akan
mendapat siksa, sama seperti orang yang dikubur. (lihat Tahdzib Syarh
Ath Thahawiyah, Syaikh Abdul Akhir Hammad al Ghunaimi)

Apakah Adzab Kubur terjadi terus-menerus atau kemudian berhenti ?

Maka jawaban untuk pertanyaan ini ada dua macam:

Pertama, untuk orang kafir yang tidak bisa menjawab ketiga pertanyaan,
maka adzab berlangsung terus-menerus. Sebagaimana firman Allah Ta'ala,
yang artinya, "Kepada mereka ditampakkan neraka pada pagi dan petang,
dan pada hari terjadinya kiamat (Dikatakan pada malaikat): Masukkanlah
Fir'aun dan kaumnya ke dalam adzab yang sangat keras." (QS. Ghafir:
46)

Demikian juga dalam hadits Al Barra' bin 'Azib tentang kisah orang
kafir, "Kemudian dibukakan baginya pintu Naar sehingga ia dapat
melihat tempat tinggalnya di sana hingga hari kiamat." (HR. Imam
Ahmad)

Kedua, untuk para pelaku maksiat yang ringan kemaksiatannya, maka
adzab hanya berlangsung beberapa waktu kemudian berhenti. Mereka
disiksa sebatas dosanya, kemudian diberi keringanan. (lihat Tahdzib
Syarh Ath Thahawiyah, Syaikh Abdul Akhir Hammad al Ghunaimi)

Saudariku, semoga Allah Melindungi kita dari adzab kubur dan
memudahkan perjalanan setelahnya. Seringan apapun adzab kubur, tidak
ada satupun dari kita yang sanggup menahan penderitaannya. Begitu
banyak dosa telah kita kerjakan… maka jangan siakan waktu lagi untuk
bertaubat. Janganlah lagi menunda berbuat kebaikan. Amal perbuatan
kita, kita sendirilah yang akan mempertanggungjawabkannya dan
mendapatkan balasannya. Jika bukan kita sendiri yang beramal shalih
demi keselamatan dunia dan akhirat kita, maka siapa lagi ???

Sungguh indah nasihat Yazid Ar Riqasyi rahimahullah yang dikatakannya
pada dirinya sendiri, "Celaka engkau wahai Yazid! Siapa yang akan
mendirikan shalat untukmu setelah engkau mati? Siapa yang akan
berpuasa untukmu setelah engkau mati? Siapa yang akan memintakan maaf
untukmu setelah engkau mati?" Lalu ia berkata, "Wahai manusia, mengapa
kalian tidak menangis dan meratapi dirimu selama sisa hidupmu.
Barangsiapa yang akhirnya adalah mati, kuburannya sebagai rumah
tinggalnya, tanah sebagai kasurnya dan ulat-ulat yang menemaninya,
serta dalam keadaan demikian ia menunggu hari kiamat yang mengerikan.
Wahai, bagaimanakah keadaan seperti ini?" Lalu beliau menangis.
Wallahu Ta'ala a'lam.

Maraji':

1. Aqidah Ath-Thahawiyah, Syaikh Abu Ja'far Ahmad bin Muhammad Ath
Thahawi (diambil dari Mutuunut Tauhidi wal 'Aqiidati)
2. Syarah Al Waajibaat al Mutahattimaat al Ma'rifah 'alaa kulli
Muslim wa Muslimah (edisi terjemah), Syaikh Ibrahim bin asy-Syaikh
Shalih bin Ahmad al Khuraishi, Pustaka Imam Syafi'i
3. Syarah Lum'atul I'tiqod, Syaikh Muhammad bin Shalih al 'Utsaimin
4. Tahdzib Syarh Ath Thahawiyah (jilid 2. edisi Terjemah), Syaikh
Abdul Akhir Hammad al Ghunaimi, Penerbit At Tibyan

Riya'


Masya Allah, anti sudah hafal 5 juz ???
Hmmm…

Secara fitrah manusia, pastilah senang jika dirinya dipuji. Saat
pujian datang -apalagi dari seseorang yang istimewa dalam
pandangannya- tentulah hati akan bahagia jadinya. Berbunga-bunga,
bangga, senang. Itu manusiawi. Namun hati-hatilah duhai saudariku,
jangan sampai riya' menghiasi amal ibadah kita karena di setiap amal
ibadah yang kita lakukan dituntut keikhlasan.


Niat yang ikhlas amatlah diperlukan dalam setiap amal ibadah karena
ikhlas adalah salah satu syarat diterimanya suatu amal di sisi Allah.
Sebuah niat dapat mengubah amalan kecil menjadi bernilai besar di sisi
Allah dan sebaliknya, niatpun mampu mengubah amalan besar menjadi
tidak bernilai sama sekali.

Kali ini, kita tidak hendak membahas tentang ikhlas melainkan salah
satu lawan dari ikhlas, yaitu riya'.

Hudzaifah Ibnu Yaman pernah berkata:

"Orang-orang bertanya pada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tentang
hal-hal yang baik sedangkan aku bertanya kepada beliau tentang hal-hal
jelek agar aku terhindar dari kejelekan tersebut." (HR Bukhari dan
Muslim)

Maka saudariku muslimah, marilah kita mempelajari tentang riya' agar
kita terhindar dari kejelekannya.

Mari Kita Berbicara tentang Riya'

Secara bahasa, riya' berasal dari kata ru'yah (الرّؤية), maknanya
penglihatan. Sehingga menurut bahasa arab hakikat riya' adalah orang
lain melihatnya tidak sesuai dengan hakikat sebenarnya.

Al Hafizh Ibnu Hajar menyatakan, "Riya' ialah menampakkan ibadah
dengan tujuan agar dilihat manusia, lalu mereka memuji pelaku amal
tersebut."

Pernahkah ukhti mendengar tentang sum'ah? Sum'ah berbeda dengan riya',
jika riya' adalah menginginkan agar amal kita dilihat orang lain, maka
sum'ah berarti kita ingin ibadah kita didengar orang lain. Ibnu Hajar
menyatakan: "Adapun sum'ah sama dengan riya'. Akan tetapi ia
berhubungan dengan indera pendengaran (telinga) sedangkan riya'
berkaitan dengan indera penglihatan (mata)."

Jadi, jika seorang beramal dengan tujuan ingin dilihat, misalnya
membaguskan dan memperlama shalat karena ingin dilihat orang lain,
maka inilah yang dinamakan riya'. Adapun jika beramal karena ingin
didengar orang lain, seperti seseorang memperindah bacaan Al Qur'annya
karena ingin disebut qari', maka ini yang disebut sebagai sum'ah.

Bahaya Riya'

Ketahuilah wahai saudariku, bahwa riya' termasuk ke dalam syirik
asghar/kecil. Ia dapat mencampuri amal kita kemudian merusaknya.

Amalan yang dikerjakan dengan ikhlas akan mendatangkan pahala. Lalu
bagaimana dengan amalan yang tercampur riya'? Tentu saja akan merusak
pahala amalan tersebut. Bisa merusak salah satu bagiannya saja atau
bahkan merusak keseluruhan dari pahala amalan tersebut.

Berikut ini beberapa bentuk riya':

1. Riya' yang mencampuri amal dari awal hingga akhir, maka
amalannya terhapus.

Misalnya seseorang yang hendak mengerjakan shalat lalu datang
seseorang yang ia kagumi. Kemudian ia shalat dengan bagus dan khusyu'
karena ingin dilihat orang tersebut. Riya' tersebut ada dari awal
hingga akhir shalatnya dan ia tidak berusaha untuk menghilangkannya,
maka amalannya terhapus.
2. Riya' yang muncul tiba-tiba di tengah-tengah amal dan dia
berusaha untuk menghilangkannya sehingga riya' tersebut hilang, maka
riya' ini tidak mempengaruhi pahala amalannya. Misalnya seseorang yang
shalat kemudian muncul riya' di tengah-tengah shalatnya dan ia
berusaha untuk menghilangkannya sehingga riya' tersebut hilang, maka
riya' tersebut tidak mempengaruhi ataupun merusak pahala shalat
tersebut.
3. Riya' muncul tiba-tiba di tengah-tengah namun dibiarkan terus
berlanjut, maka ini adalah syirik asghar dan menghapus amalannya.
Namun dalam kondisi ini ulama berselisih pendapat tentang amalan mana
yang terhapus, misalnya riya' dalam shalat. Apakah rakaat yang
tercampuri riya' saja yang terhapus ataukah keseluruhan shalatnya?

Pendapat pertama menyatakan bahwa yang terhapus hanyalah pada amalan
yang terkait. Pendapat kedua, yaitu perlu dirinci:

1. Kalau amalannya merupakan satu rangkaian dan tidak mungkin
dipisahkan satu dengan yang lain, misalnya shalat dhuhur empat rakaat,
maka terhapus rangkaian amal tersebut.
2. Kalau amalannya bukan merupakan satu rangkaian, maka amal yang
terhapus pahalanya adalah sebatas yang tercampuri saja. Misalnya
seseorang yang bersedekah kepada sepuluh orang anak yatim. Saat
bersedekah pada anak kesatu sampai yang kelima ia ikhlas. Akan tetapi
riya' muncul saat ia bersedekah pada anak ke-enam, maka pahala yang
terhapus adalah sedekah pada anak ke-enam. Contoh yang serupa adalah
puasa.

Riya' itu Samar

Pada asalnya, manusia memiliki kecenderungan ingin dipuji dan takut
dicela. Hal ini menyebabkan riya' menjadi sangat samar dan
tersembunyi. Terkadang, seorang merasa telah beramal ikhlas karena
Allah, namun ternyata secara tak sadar ia telah terjerumus kedalam
penyakit riya'.

Saudariku, pernahkah engkau mendengar langkah laki seekor semut? Suara
langkahnya begitu samar bahkan tidak dapat kita dengar. Seperti inilah
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menggambarkan kesamaran
riya'. Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Kesyirikan itu lebih samar dari langkah kaki semut." Lalu Abu Bakar
bertanya, "Wahai Rasulullah, bukankah kesyirikan itu ialah menyembah
selain Allah atau berdoa kepada selain Allah disamping berdoa kepada
selain Allah?" maka beliau bersabda."Bagaimana engkau ini. Kesyirikan
pada kalian lebih samar dari langkah kaki semut." (HR Abu Ya'la Al
Maushili dalam Musnad-nya, tahqiq Irsya Al Haq Al Atsari, cetakan
pertama, tahun 1408 H, Muassasah Ulum Al Qur'an, Beirut, hlm 1/61-62.
dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al Targhib, 1/91)

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengkhawatirkan bahaya riya'
atas umat Islam melebihi kekhawatiran beliau terhadap bahaya Dajjal.
Disebutkan dalam sabda beliau: "Maukah kalian aku beritahu sesuatu
yang lebih aku takutkan menimpa kalian daripada Dajjal." Kami
menyatakan, "Tentu!" beliau bersabda "Syirik khafi (syirik yang
tersembunyi). Yaitu seseorang mengerjakan shalat, lalu ia baguskan
shalatnya karena ia melihat ad seseorang yang memandangnya."

Hal ini tidak akan terjadi, kecuali karena faktor pendukung yang kuat.
Yaitu karena setiap manusia memiliki kecenderungan ingin mendapatkan
pujian, kepemimpinan dan kedudukan tinggi di hadapan orang lain.

Bentuk Riya'

Wahai ukhti muslimah, didalam mencapai tujuannya, para mura'i (orang
yang riya') menggunakan banyak jalan, diantaranya sebagai berikut:

1. Dengan tampilan fisik, yaitu seperti menampilkan fisik yang
lemah lagi pucat dan suara yang sangat lemah agar dianggap sebagai
orang yang sangat takut akhirat atau rajin berpuasa.
2. Dengan penampilan, yaitu seperti membiarkan bekas sujud di dahi
dan pakaian yang seadanya agar tampil seperti ahli ibadah. Ketika
menjelaskan QS Al Fath, dalam Hasyiah Ash Shawi 4/134 disebutkan,
"Yang dimaksud 'bekas sujud' bukanlah hitam-hitam di dahi sebagaimana
yang dilakukan oleh orang-orang bodoh yang ingin riya' karena
hitam-hitam di dahi merupakan perbuatan khawarij."
3. Dengan perkataan, yaitu seperti banyak memberikan nasehat,
menghafal atsar (riwayat salaf) agar dianggap sebagai orang yang
sangat memperhatikan jejak salaf.
4. Dengan amal, yaitu seperti memperlama rukuk dan sujud ketika
shalat agar tampak khusyu' dan lain-lain.

Kiat Mengobati Penyakit Riya'

Wahai saudariku, setiap insan tidak akan pernah lepas dari kesalahan.
Sebaik-baik orang yang melakukan kesalahan adalah yang bertaubat
kepada Allah atas kesalahan yang pernah dilakukannya.

Hati manusia cepat berubah. Jika saat ini beribadah dengan ikhlas,
bisa jadi beberapa saat kemudian ikhlas tersebut berganti dengan
riya'. Pagi ikhlas, mungkin sore sudah tidak. Hari ini ikhlas, mungkin
esok tidak. Hanya kepada Allahlah kita memohon agar hati kita
diteguhkan dalam agama ini. َ

Selain itu, hendaknya kita berusaha untuk menjaga hati agar terhidar
dari penyakit riya'. Saudariku, inilah beberapa kiat yang dapat kita
lakukan agar terhindar dari riya':

1. Memohon dan selalu berlindung kepada Allah agar mengobati penyakit riya'

Riya' adalah penyakit kronis dan berbahaya. Ia membutuhkan pengobatan
dan terapi serta bermujahadah (bersungguh-sungguh) supaya bisa menolak
bisikan riya', sambil tetap meminta pertolongan Allah Ta'ala untuk
menolaknya. Karena seorang hamba selalu membutuhkan pertolongan dan
bantuan dari Allah. Seorang hamba tidak akan mampu melakukan sesuatu
kecuali dengan bantuan dan anugerah Allah. Oleh karena itu, untuk
mengobati riya', seorang selalu membutuhkan pertolongan dan memohon
perlindungan kepada-Nya dari penyakit riya' dan sum'ah. Demikian yang
diajarkan Rasulullah dalam sabda beliau:

"Wahai sekalian manusia, peliharalah diri dari kesyirikan karena ia
lebih samar dari langkah kaki semut." Mereka bertanya, "Wahai
Rasulullah, bagaimana cara kami memelihara diri darinya padahal ia
lebih samar dari langkah kaki semut?" beliau menjawab, "Katakanlah:

اللّهُمَّ إِنَّانَعُوْذُبِكَ مِنْ أََنْ نُشْرِكَ بِكَ
شَيْئًانَعْلَمُهُ وَنَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لاَ نَعْلَمُ

'Ya Allah, kami berlindung kepada-Mu dari perbuatan syirik yang kami
ketahui. Dan kami mohon ampunan kepada-Mu dari apa yang tidak kami
ketahui.'" (HR. Ahmad)

2. Mengenal riya' dan berusaha menghindarinya

Kesamaran riya' menuntut seseorang yang ingin menghindarinya agar
mengetahui dan mengenal dengan baik riya' dan penyebabnya.
Selanjutnya, berusaha menghindarinya. Adakalanya seorang itu
terjangkit penyakit riya' disebabkan ketidaktahuan dan adakalanya
karena keteledoran dan kurang hati-hati.

3. Mengingat akibat jelek perbuatan riya' di dunia dan akhirat

Duhai saudariku di jalan Allah, sifat riya' tidaklah memberikan
manfaat sedikitpun, bahkan memberikan madharat yang banyak di dunia
dan akhirat. Riya' dapat membuat kemurkaan dan kemarahan Allah.
Sehingga seseorang yang riya' akan mendapatkan kerugian di dunia dan
akhirat.

4. Menyembunyikan dan merahasiakan ibadah

Salah satu upaya mengekang riya' adalah dengan menyembunyikan amalan.
Hal ini dilakukan oleh para ulama sehingga amalan yang dilakukan tidak
tercampuri riya'. Mereka tidak memberikan kesempatan kepada setan
untuk mengganggunya. Para ulama menegaskan bahwa menyembunyikan amalan
hanya dianjurkan untuk amalan yang bersifat sunnah. Sedangkan amalan
yang wajib tetap ditampakkan. Sebagian dari ulama ada yang menampakkan
amalan sunnahnya agar dijadikan contoh dan diikuti manusia. Mereka
menampakkannya dan tidak menyembunyikannya, dengan syarat merasa aman
dari riya'. Hal ini tentu tidak akan bisa kecuali karena kekuatan iman
dan keyakinan mereka.

5. Latihan dan mujahadah

Saudariku, ini semua membutuhkan latihan yang terus menerus dan
mujahadah (kesungguhan) agar jiwa terbina dan terjaga dari sebab-sebab
yang dapat membawa kepada perbuatan riya' bila tidak, maka kita telah
membuka pintu dan kesempatan kepada setan untuk menyebarkan penyakit
riya' ini ke dalam hati kita.

Belajar dari Para Salaf

Duhai muslimah, berikut ini adalah kisah salaf yang menunjukkan betapa
mereka menjaga diri dari riya' dan sum'ah. Mereka tidak menginginkan
ketenaran dan popularitas. Justru sebaliknya, mereka ingin agar tidak
terkenal. Mereka memelihara keikhlasan, mereka takut jika hati mereka
terkena ujub (bangga diri).

Abu Zar'ah yahya bin Abu 'Amr bercerita: Pernah Adh-Dhahhak bin Qais
keluar untuk memohon hujan bersama-sama dengan orang-orang, tapi
ternyata hujan tidak turun dan beliau juga tidak melihat awan. Beliau
berkata: "Dimana gerangan Yazid bin Al Aswad?" (dalam satu riwayat:
tidak seorang pun yang menjawab pertanyaan beliau. Beliau pun bertanya
lagi: "Dimana Yazid bin Al Aswad Al Jurasyi? Jika beliau mendengar,
saya sangat berharap beliau berdiri.") "Ini saya", seru Yazid.
"Berdirilah dan tolonglah kami ini di hadapan Allah. Jadilah kamu
perantara(*) kami agar Allah menurunkan hujan kepada kami.", kata
Adh-Dhahhak bin Qais. Kemudian Yazid pun berdiri seraya menundukkan
kepala sebatas bahu serta menyingsingkan lengan baju beliau kemudian
berdoa: "Ya Allah, sesungguhnya hamba-hamba-Mu ini memohon syafaatku
kepada-Mu." Beliau berdoa tiga kali dan seketika itu pula turunlah
hujan yang sangat deras sehingga hampir terjadi banjir. Kemudian
beliau pun berkata: "Sesungguhnya kejadian ini membuat saya dikenal
banyak orang. Bebaskanlah saya dari keadaan seperti ini." Kemudian
hanya berselang satu hari, yaitu Jum'at setelah peristiwa itu beliau
pun wafat. (Riwayat Ibnu Sa'ad (7/248) dan Al Fasawi (2/239-pada
penggal yang terakhir). Atsar ini shahih).

(*) Dalam keadaan ini, meminta perantara dalam berdo'a diperbolehkan,
karena Yazid bin Al Aswad Al Jurasyi yang menjadi perantara masih
dalam keadaan hidup, dan beliau adalah seorang yang shaleh. Bedakan
dengan keadaan orang-orang yang berdo'a meminta kepada orang yang
dianggap shaleh yang sudah meninggal dunia di kubur-kubur mereka! dan
ini merupakan Syirik Akbar yang membuat pelakunya kekal di neraka jika
belum bertaubat. -ed

Berkata Hammad bin Zaid rahimahullah: "Saya pernah berjalan bersama
Ayyub tapi beliau melewati jalan-jalan yang membuat diriku heran dan
bertanya-tanya kenapa beliau sampai berbuat seperti ini
(berputar-putar melewati beberapa jalan). Ternyata beliau berbuat
seperti itu karena beliau tidak mau orang-orang mengenal beliau dan
berkata: 'Ini Ayyub, ini Ayyub! Ayyub datang, Ayyub datang!'" (Riwayat
Ibnu Sa'ad dan lainnya).

Hammad berkata lagi: "Ayyub pernah membawa saya melewati jalan yang
lebih jauh, maka sayapun berkata: 'Jalan ini lebih dekat!' Beliau
menjawab: 'Saya menghindari kumpulan orang-orang di jalan tersebut.'
Dan memang apabila dia memberi salam, akan dijawab oleh mereka dengan
jawaban yang lebih baik dari jawaban kepada yang lainnya. Dia berkata:
'Ya Allah sesungguhnya Engkau mengetahui bahwa aku tidak
menginginkannya! Ya Allah sesungguhnya Engkau mengetahui bahwa aku
tidak menginginkannya!'" (Riwayat Ibnu Sa'ad (7/248) dan Al Fawasi
(2/239-pada penggal yang terakhir). Atsar ini shahih).

Kita berlindung kepada Allah dari penyakit riya'. Semoga Allah
menjadikan kita seorang mukhlishah, senantiasa berusaha untuk menjaga
niat dari setiap amalan yang kita lakukan. Innamal 'ilmu 'indallah.
Wa'allahu a'lam.

Ikhlas


Ikhlas, suatu kata yang sudah tidak asing lagi di telinga kaum
muslimin. Sebuah kata yang singkat namun sangat besar maknanya. Sebuah
kata yang seandainya seorang muslim terhilang darinya, maka akan
berakibat fatal bagi kehidupannya, baik kehidupan dunia terlebih lagi
kehidupannya di akhirat kelak. Ya itulah dia, sebuah keikhlasan. Amal
seorang hamba tidak akan diterima jika amal tersebut dilakukan tidak
ikhlas karena Allah.

Allah berfirman yang artinya,

"Maka sembahlah Allah dengan mengikhlaskan agama kepada-Nya." (Qs. Az Zumar: 2)

Keikhlasan merupakan syarat diterimanya suatu amal perbuatan di
samping syarat lainnya yaitu mengikuti tuntunan Rasulullah Shallallahu
alaihi wa sallam.

Ibnu Mas'ud Radhiyallahu anhu berkata, "Perkataan dan perbuatan
seorang hamba tidak akan bermanfaat kecuali dengan niat (ikhlas), dan
tidaklah akan bermanfaat pula perkataan, perbuatan dan niat seorang
hamba kecuali yang sesuai dengan sunnah (mengikuti Rasulullah
Shallallahu alaihi wa sallam)"

Apa Itu Ikhlas ?

Banyak para ulama yang memulai kitab-kitab mereka dengan membahas
permasalahan niat (dimana hal ini sangat erat kaitannya dengan
keikhlasan), di antaranya Imam Bukhari dalam kitab Shahih-nya, Imam Al
Maqdisi dalam kitab Umdatul Ahkam, Imam Nawawi dalam kitab Arbain
An-Nawawi dan Riyadhus Shalihin-nya, Imam Al Baghowi dalam kitab
Masobihis Sunnah serta ulama-ulama lainnya. Hal ini menunjukkan betapa
pentingnya keikhlasan tersebut. namun, apakah sesungguhnya makna dari
ikhlas itu sendiri ?

Ukhti muslimah, yang dimaksud dengan keikhlasan adalah ketika engkau
menjadikan niatmu dalam melakukan suatu amalan hanyalah karena Allah
semata, engkau melakukannya bukan karena selain Allah, bukan karena
riya (ingin dilihat manusia) ataupun sum'ah (ingin didengar manusia),
bukan pula karena engkau ingin mendapatkan pujian serta kedudukan yang
tinggi di antara manusia, dan juga bukan karena engkau tidak ingin
dicela oleh manusia. Apabila engkau melakukan suatu amalan hanya
karena Allah semata bukan karena kesemua hal tersebut, maka ketahuilah
saudaraku, itu berarti engkau telah ikhlas. Fudhail bin Iyadh berkata,
"Beramal karena manusia adalah syirik, meninggalkan amal karena
manusia adalah riya."

Dalam Hal Apa Aku Harus Ikhlas ?

Sebagian manusia menyangka bahwa yang namanya keikhlasan itu hanya ada
dalam perkara-perkara ibadah semata seperti sholat, puasa, zakat,
membaca al qur'an , haji dan amal-amal ibadah lainnya. Namun ukhti
muslimah, ketahuilah bahwa keikhlasan harus ada pula dalam
amalan-amalan yang berhubungan dengan muamalah. Ketika engkau
tersenyum terhadap saudarimu, engkau harus ikhlas. Ketika engkau
mengunjungi saudarimu, engkau harus ikhlas. Ketika engkau meminjamkan
saudarimu barang yang dia butuhkan, engkau pun harus ikhlas. Tidaklah
engkau lakukan itu semua kecuali semata-mata karena Allah, engkau
tersenyum kepada saudarimu bukan karena agar dia berbuat baik
kepadamu, tidak pula engkau pinjamkan atau membantu saudarimu agar
kelak suatu saat nanti ketika engkau membutuhkan sesuatu maka engkau
pun akan dibantu olehnya atau tidak pula karena engkau takut dikatakan
sebagai orang yang pelit. Tidak wahai saudariku, jadikanlah semua amal
tersebut karena Allah.

Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda: "Ada seorang
laki-laki yang mengunjungi saudaranya di kota lain, maka Allah
mengutus malaikat di perjalanannya, ketika malaikat itu bertemu
dengannya, malaikat itu bertanya, "Hendak ke mana engkau ?" maka dia
pun berkata "Aku ingin mengunjungi saudaraku yang tinggal di kota
ini." Maka malaikat itu kembali bertanya "Apakah engkau memiliki suatu
kepentingan yang menguntungkanmu dengannya ?" orang itu pun menjawab:
"Tidak, hanya saja aku mengunjunginya karena aku mencintainya karena
Allah, malaikat itu pun berkata "Sesungguhnya aku adalah utusan Allah
untuk mengabarkan kepadamu bahwa sesungguhnya Allah mencintaimu
sebagaimana engkau mencintai saudaramu itu karena-Nya." (HR. Muslim)

Perhatikanlah hadits ini wahai ukhti, tidaklah orang ini mengunjungi
saudaranya tersebut kecuali hanya karena Allah, maka sebagai
balasannya, Allah pun mencintai orang tersebut. Tidakkah engkau ingin
dicintai oleh Allah wahai ukhti ?

Dalam hadits lain, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
"Tidaklah engkau menafkahi keluargamu yang dengan perbuatan tersebut
engkau mengharapkan wajah Allah, maka perbuatanmu itu akan diberi
pahala oleh Allah, bahkan sampai sesuap makanan yang engkau letakkan
di mulut istrimu." (HR Bukhari Muslim)

Renungkanlah sabda beliau ini wahai ukhti, bahkan "hanya" dengan
sesuap makanan yang seorang suami letakkan di mulut istrinya, apabila
dilakukan ikhlas karena Allah, maka Allah akan memberinya pahala.
Bagaimana pula dengan pengabdianmu terhadap suamimu yang engkau
lakukan ikhlas karena Allah ? bukankah itu semua akan mendapat
ganjaran dan balasan pahala yang lebih besar? Sungguh merupakan suatu
keberuntungan yang amat sangat besar seandainya kita dapat
menghadirkan keikhlasan dalam seluruh gerak-gerik kita.

Berkahnya Sebuah Amal yang Kecil Karena Ikhlas

Ukhti muslimah yang semoga dicintai oleh Allah, sesungguhnya yang
diwajibkan dalam amal perbuatan kita bukanlah banyaknya amal namun
tanpa keikhlasan. Amal yang dinilai kecil di mata manusia, apabila
kita melakukannya ikhlas karena Allah, maka Allah akan menerima dan
melipat gandakan pahala dari amal perbuatan tersebut. Abdullah bin
Mubarak berkata, "Betapa banyak amalan yang kecil menjadi besar karena
niat, dan betapa banyak pula amal yang besar menjadi kecil hanya
karena niat."

Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda: "Seorang laki-laki
melihat dahan pohon di tengah jalan, ia berkata: Demi Allah aku akan
singkirkan dahan pohon ini agar tidak mengganggu kaum muslimin, Maka
ia pun masuk surga karenanya." (HR. Muslim)

Lihatlah ukhti, betapa kecilnya amalan yang dia lakukan, namun hal itu
sudah cukup bagi dia untuk masuk surga karenanya. Dalam hadits lain
Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda: "Dahulu ada seekor
anjing yang berputar-putar mengelilingi sumur, anjing tersebut
hampir-hampir mati karena kehausan, kemudian hal tersebut dilihat oleh
salah seorang pelacur dari bani israil, ia pun mengisi sepatunya
dengan air dari sumur dan memberikan minum kepada anjing tersebut,
maka Allah pun mengampuni dosanya." (HR Bukhari Muslim)

Subhanallah, seorang pelacur diampuni dosanya oleh Allah hanya karena
memberi minum seekor anjing, betapa remeh perbuatannya di mata
manusia, namun dengan hal itu Allah mengampuni dosa-dosanya. Maka
bagaimanakah pula apabila seandainya yang dia tolong adalah seorang
muslim ? Dan sebaliknya, wahai ukhti, amal perbuatan yang besar
nilainya, seandainya dilakukan tidak ikhlas, maka hal itu tidak akan
berfaedah baginya. Dalam sebuah hadits dari Abu Umamah Al Bahili, dia
berkata: Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah dan bertanya:
"Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu tentang seseorang yang
berperang untuk mendapatkan pahala dan agar dia disebut-sebut oleh
orang lain?" maka Rasulullah pun menjawab: "Dia tidak mendapatkan
apa-apa." Orang itu pun mengulangi pertanyaannya tiga kali, Rasulullah
pun menjawab: "Dia tidak mendapatkan apa-apa." Kemudian beliau
berkata: "Sesungguhnya Allah tidak akan menerima suatu amalan kecuali
apabila amalan itu dilakukan ikhlas karenanya." (Hadits Shahih Riwayat
Abu Daud dan Nasai). Dalam hadits ini dijelaskan bahwa seseorang yang
dia berjihad, suatu amalan yang sangat besar nilainya, namun dia tidak
ikhlas dalam amal perbuatannya tersebut, maka dia pun tidak
mendapatkan balasan apa-apa.

Buah dari Ikhlas

Untuk mengakhiri pembahasan yang singkat ini, maka kami akan
membawakan beberapa buah yang akan didapatkan oleh orang yang ikhlas.
Seseorang yang telah beramal ikhlas karena Allah (di samping amal
tersebut harus sesuai dengan tuntunan Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam), maka keikhlasannya tersebut akan mampu mencegah setan
untuk menguasai dan menyesatkannya. Allah berfirman tentang perkataan
Iblis laknatullah alaihi yang artinya: Iblis menjawab: "Demi kekuasaan
Engkau aku akan menyesatkan mereka semuanya, Kecuali hamba-hamba-Mu
yang ikhlas di antara mereka." (Qs. Shod: 82-83). Buah lain yang akan
didapatkan oleh orang yang ikhlas adalah orang tersebut akan Allah
jaga dari perbuatan maksiat dan kejelekan, sebagaimana Allah berfirman
tentang Nabi Yusuf yang artinya "Demikianlah, agar Kami memalingkan
dari padanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk
hamba-hamba Kami yang ikhlas. " ( Qs. Yusuf : 24). Pada ayat ini Allah
mengisahkan tentang penjagaan Allah terhadap Nabi Yusuf sehingga
beliau terhindar dari perbuatan keji, padahal faktor-faktor yang
mendorong beliau untuk melakukan perbuatan tersebut sangatlah kuat.
Akan tetapi karena Nabi Yusuf termasuk orang-orang yang ikhlas, maka
Allah pun menjaganya dari perbuatan maksiat. Oleh karena itu wahai
ukhti, apabila kita sering dan berulang kali terjatuh dalam perbuatan
kemaksiatan, ketahuilah sesungguhnya hal tersebut diakibatkan minim
atau bahkan tidak adanya keikhlasan di dalam diri kita, maka
introspeksi diri dan perbaikilah niat kita selama ini, semoga Allah
menjaga kita dari segala kemaksiatan dan menjadikan kita termasuk
orang-orang yang ikhlas. Amin ya Rabbal alamin.

Wanita Yang Aduannya Didengar Sampai Langit

Beliau adalah Khaulah binti Tsa'labah bin Ashram bin Fahar bin
Tsa'labah Ghanam bin Auf. Suaminya adalah saudara dari Ubadah bin
Shamit, yaitu Aus bin Shamit bin Qais. Aus bin Shamit bin Qais
termasuk sahabat Rasulullah yang selalu mengikuti Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam dalam peperangan, termasuk perang Badar
dan perang Uhud. Anak mereka bernama Rabi'.

Suatu hari, Khaulah binti Tsa'labah mendapati suaminya sedang
menghadapi suatu masalah. Masalah tersebut kemudian memicu
kemarahannya terhadap Khaulah, sehingga dari mulut Aus terucap
perkataan, "Bagiku, engkau ini seperti punggung ibuku." Kemudian Aus
keluar dan duduk-duduk bersama orang-orang. Beberapa lama kemudian Aus
masuk rumah dan 'menginginkan' Khaulah. Akan tetapi kesadaran hati dan
kehalusan perasaan Khaulah membuatnya menolak hingga jelas hukum Allah
terhadap kejadian yang baru pertama kali terjadi dalam sejarah islam
(yaitu dhihaar). Khaulah berkata, "Tidak… jangan! Demi yang jiwa
Khaulah berada di tangan-Nya, engkau tidak boleh menjamahku karena
engkau telah mengatakan sesuatu yang telah engkau ucapkan terhadapku
sampai Allah dan Rasul-Nya memutuskan hukum tentang peristiwa yang
menimpa kita."

Kemudian Khaulah keluar menemui Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam untuk meminta fatwa dan berdialog tentang peristiwa tersebut.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Kami belum pernah
mendapatkan perintah berkenaan dengan urusanmu tersebut… aku tidak
melihat melainkan engkau sudah haram baginya." Sesudah itu Khaulah
senantiasa mengangkat kedua tangannya ke langit sedangkan di hatinya
tersimpan kesedihan dan kesusahan. Beliau berdo'a, "Ya Allah
sesungguhnya aku mengadu tentang peristiwa yang menimpa diriku." Tiada
henti-hentinya wanita ini ini berdo'a hingga suatu ketika Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam pingsan sebagaimana biasanya beliau
pingsan tatkala menerima wahyu. Kemudian setelah Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam sadar, beliau bersabda, "Wahai Khaulah,
sungguh Allah telah menurunkan ayat Al-Qur'an tentang dirimu dan
suamimu." kemudian beliau membaca firman Allah yang artinya,
"Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan
gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada
Allah. Dan Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya
Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat….." sampai firman Allah: "Dan
bagi orang-orang kafir ada siksaan yang pedih." (QS. Al-Mujadalah:1-4)

Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menjelaskan kepada
Khaulah tentang kafarah dhihaar, yaitu memerdekakan budak, jika tidak
mampu memerdekakan budak maka berpuasa dua bulan berturut-turut atau
jika masih tidak mampu berpuasa maka memberi makan sebanyak enam puluh
orang miskin.

Inilah wanita mukminah yang dididik oleh islam, wanita yang telah
menghentikan khalifah Umar bin Khaththab saat berjalan untuk
memberikan wejangan dan nasehat kepadanya. Dalam sebuah riwayat, Umar
berkata, "Demi Allah seandainya beliau tidak menyudahi nasehatnya
kepadaku hingga malam hari maka aku tidak akan menyudahinya sehingga
beliau selesaikan apa yang dia kehendaki, kecuali jika telah datang
waktu shalat maka saya akan mengerjakan shalat kemudian kembali untuk
mendengarkannya hingga selesai keperluannya."

Alangkah bagusnya akhlaq Khaulah, beliau berdiri di hadapan Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam dan berdialog untuk meminta fatwa,
adapun istighatsah dan mengadu tidak ditujukan melainkan hanya kepada
Allah Ta'ala. Beliau berdo'a tak henti-hentinya dengan penuh harap,
penuh dengan kesedihan dan kesusahan serta penyesalan yang mendalam.
Sehingga do'anya didengar Allah dari langit ketujuh.

Allah berfirman yang artinya, "Berdo'alah kepada-Ku, niscaya akan
Ku-perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan
diri dari beribadah (berdo'a) kepada–Ku akan masuk neraka Jahannam
dalam keadaan hina dina." (QS. Al-Mu'min: 60)

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda yang artinya,
"Sesungguhnya Rabb kalian Yang Maha Suci lagi Maha Tinggi itu Maha
Malu lagi Maha Mulia, Dia malu terhadap hamba-Nya jika hamba-Nya
mengangkat kedua tangannya kepada-Nya untuk mengembalikan keduanya
dalam keadaan kosong (tidak dikabulkan)." (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi
dan Ibnu Majah)

Hikmah

Tidak setiap do'a langsung dikabulkan oleh Allah. Ada faktor-faktor
yang menyebabkan do'a dikabulkan serta adab-adab dalam berdo'a,
diantaranya:

1. Ikhlash karena Allah semata adalah syarat yang paling utama dan
pertama, sebagaimana firman Allah yang artinya, "Maka sembahlah Allah
dengan memurnikan ibadah kepada-Nya, meskipun orang-orang kafir tidak
menyukai(nya)." (QS. Al-Mu'min: 14)
2. Mengawali do'a dengan pujian dan sanjungan kepada Allah, diikuti
dengan bacaan shalawat atas Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
dan diakhiri dengan shalawat lalu tahmid.
3. Bersungguh-sungguh dalam memanjatkan do'a serta yakin akan
dikabulkan. Sebagaimana yang dilakukan oleh Khaulah binti Tsa'labah
radhiyallahu 'anha.
4. Mendesak dengan penuh kerendahan dalam berdo'a, tidak
terburu-buru serta khusyu' dalam berdo'a.
5. Tidak boleh berdo'a dan memohon sesuatu kecuali hanya kepada Allah semata.
6. Serta hal-hal lain yang sesuai tuntunan Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam.

Selain hal-hal di atas, agar do'a kita terkabul maka hendaknya kita
perhatikan waktu, keadaan, dan tempat ketika kita berdo'a.
Disyari'atkan untuk berdo'a pada waktu, keadaan dan tempat yang
mustajab untuk berdo'a. Ketiga hal tersebut merupakan faktor yang
penting bagi terkabulnya do'a. Diantara waktu-waktu yang mustajab
tersebut adalah:

1. Malam Lailatul qadar.
2. Pertengahan malam terakhir, ketika tinggal sepertiga malam yang akhir.
3. Akhir setiap shalat wajib sebelum salam.
4. Waktu di antara adzan dan iqomah.
5. Pada saat turun hujan.
6. Serta waktu, keadaan, dan tempat lainnya yang telah diberitakan
oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.

Semoga Allah memberikan kita taufiq agar kita semakin bersemangat dan
memperbanyak do'a kepada Allah atas segala hajat dan masalah kita.
Saudariku, jangan sekali pun kita berdo'a kepada selain-Nya karena
tiada Dzat yang berhak untuk diibadahi selain Allah Subhanahu wa
Ta'ala dan janganlah kita berputus asa ketika do'a kita belum
dikabulkan oleh Allah. Wallahu Ta'ala a'lam.


Yang Patut Kita Renungkan

"Akh, dulu ana merasa semangat saat aktif dalam da'wah. Tapi belakangan rasanya semakin hambar. Ukhuwah makin kering. Bahkan ana melihat ternyata ikhwah banyak pula yang aneh-aneh."Begitu keluh kesah seorang mad'u kepada seorang murobbinya di suatu malam. Sang murobbi hanya terdiam, mencoba terus menggali semua kecamuk dalam diri mad'unya.
"lalu apa yang ingin antum lakukan setelah merasakan semua itu ? " sahut sang murobbi setelah sesaat termenung. " Ana ingin berhenti saja, keluar dari tarbiyah ini. Ana kecewa dengan prilaku beberapa ikhwah yang justru tidak Islami. Juga dengan organisasi dakwah yang Ana geluti; kaku dan sering mematikan potensi anggota-anggotanya. Bila begini terus, Ana mendingan sendiri saja." Jawab mad'u itu.
Sang murobbi termenung kembali. Tidak tampak raut terkejut dari roman di wajahnya. Sorot matanya tetap terlihat tenang, seakan jawaban itu memang sudah diketahuinya sejak awal. " Akhi, bila suatu kali antum naik sebuah kapal mengarungi lautan luas. Kapal itu ternyata sudah sangat bobrok. Layarnya banyak berlubang, kayunya banyak yang keropos bahkan kabinnya bau kotoran manusia. Lalu, apa yang akan antum lakukan untuk tetap sampai pada tujuan?". Tanya sang murobbi dengan kiasan bermakna dalam. Sang mad'u terdiam dan berfikir. Tak kuasa hatinya mendapat umpan balik sedemikian tajam melalui kiasan yang amat tepat. " Apakah antum memilih untuk terjun kelaut dan berenang sampai tujuan?". Sang murobi mencoba memberi opsi. "Bila antum terjun ke laut, sesaat antum akan merasa senang. Bebas dari bau kotoran manusia, merasa kesegaran air laut, atau bebas bermain dengan ikan lumba-lumba . tapi itu hanya sesaat.
Berapa kekuatan antum untuk berenang hingga tujuan?. Bagaimana bila
ikan hiu datang. Darimana antum mendapat makan dan minum? Bila malam
datang, bagaimanan antum mengatasi hawa dingin?" serentetan
pertanyaan dihamparkan dihadapan sang mad'u. Tak ayal, sang mad'u
menangis tersedu. Tak kuasa rasa hatinya menahan kegundahan sedemikian. Kekecewaannya kadung memuncak, namun sang murobbi yang dihormati justru tidak memberi jalan keluar yang sesuai dengan keinginannya.
"Akhi, apakah antum masih merasa bahwa jalan dakwah adalah jalan yang paling utama menuju ridho Allah?
" Bagaimana bila ternyata mobil yang antum kendarai dalam menempuh
jalan itu ternyata mogok? Antum akan berjalan kaki meninggalkan mobil itu tergeletak dijalan, atau mencoba memperbaikinya? . Tanya sang murobbi lagi.
Sang mad'u tetap terdiam dalam sesenggukan tangis perlahannya. Tiba-
tiba ia mengangkat tangannya:"Cukup akhi, cukup. Ana sadar.. maafkan
Ana…. ana akan tetap Istiqomah. Ana berdakwah bukan untuk mendapatkan medali kehormatan. Atau agar setiap kata-kata ana diperhatikan… " .
biarlah yang lain dengan urusan pribadinya masing-masing. Biarlah ana tetap berjalan dalam dakwah. Dan hanya Allah saja yang akan membahagiakan ana kelak dengan janji-janji- Nya. Biarlah segala
kepedihan yang ana rasakan menjadi pelebur dosa-dosa ana". Sang mad'u berazzam dihadapan sang murobbi yang semakin dihormatinya.
Sang murobbi tersenyum "Akhi, jama'ah ini adalah jamaah manusia.
Mereka adalah kumpulan insan yang punya banyak kelemahan. Tapi dibalik kelemahan itu, masih amat banyak kebaikan yang mereka miliki . Mereka adalah pribadi-pribadi yang menyambut seruan Allah untuk berdakwah. Dengan begitu, mereka sedang berproses menjadi manusia terbaik pilihan Allah." "Bila ada satu dua kelemahan dan kesalahan mereka, janganlah hal itu mendominasi perasaan antum. Sebagaimana Allah ta'ala menghapus dosa manusia dengan amal baik mereka, hapuslah kesalahan mereka dimata antum dengan kebaikan-kebaikan mereka terhadap dakwah selama ini. Karena di mata Allah, belum tentu antum lebih baik dari mereka."
"Futur, mundur, kecewa atau bahkan berpaling menjadi lawan bukanlah
jalan yang masuk akal. Apabila setiap ketidak-sepakatan selalu disikapi dengan jalan itu , maka kapankah dakwah ini dapat berjalan dengan baik?" sambungnya panjang lebar. "Kita bukan sekedar pengamat yang hanya bisa berkomentar. Atau hanya pandai menuding-nuding sebuah kesalahan. Kalau hanya itu, orang kafirpun bisa melakukannya. Tapi kita adalah da'i. kita adalah khalifah. Kitalah yang diserahi amanat oleh Allah untuk membenahi masalah-masalah di muka bumi. Bukan hanya mengeksposnya, yang bisa jadi justru semakin memperuncing masalah.
"Jangan sampai, kita seperti menyiram bensin ke sebuah bara api. Bara yang tadinya kecil.tak bernilai, bisa menjelma menjadi nyala api yang yang membakar apa saja. Termasuk kita sendiri!" "Bekerjalah dengan ikhlas. Berilah taushiah dalam kebenaran, kesabaran dan kasih sayang kepada semua ikhwah yang terlibat dalam organisasi itu. Karena peringatan selalu berguna bagi orang beriman. Bila ada isyu atau gosip tutuplah telinga antum dan bertaubatlah. Singkirkan segala ghil antum terhadap saudara antum sendiri. Dengan itulah, Bilal yang mantan budak hina menemui kemuliaannya. "
Suasana dialog itu mulai mencair. Semakin lama, pembicaraaan melebar
dengan akrabnya. Tak terasa, kokok ayam jantan memecah suasana. Sang
mad'u bergegas mengambil wudhu untuk berqiyamu lail. Malam itu. Sang
mad'u sibuk membangunkan mad'u yang lain dari asyik tidurnya. Malam itu sang mad'u menyadari kesalahannya. Ia bertekad untuk tetap berputar bersama jama'ah dalam mengarungi jalan dakwah. Pencerahan diperolehnya. Demikian yang kami harapkan dari antum sekalian…
… Semoga bermanfaat